Bambang Pamungkas Pun Menulis

Di era menjamur dan memasyarakatnya sepak bola, saya termasuk orang yang tetap tidak begitu tertarik untuk menonton sepak bola. Apalagi harus turut bermain... Namun, sekadar supaya tidak terlalu NOL saya sedikitnya mencoba mengikuti perkembangan sepak bola, khususnya Indonesia. Terutama saat kasus Nurdin Khalid, Piala AFF, hingga yang terbaru kisruh tentang pelatih. Kesimpulan saya: MASIH TERLALU DINI UNTUK MENGEJA NAMA INDONESIA DI PENTAS DUNIA.

Ada yang menarik dari sosok salah seorang pemain utama Timnas, yaitu Bambang Pamungkas. Selain rentang kariernya yang terbilang cukup lama, permainannya yang cemerlang, ia pun suka menulis. Salah satunya tulisan berikut. Hmmm... andai kebanyakan manusia Indonesia juga suka menulis...

"Suatu Sore di Roemah Rempah"

Penulis: bepe, 11 September 2011, www.bambangpamungkas20.com

Concorde Hotel Singapore, 9 September 2011.

Saya tengah merebahkan diri di sofa kamar hotel sambil menonton TV ketika sebuah BBM masuk ke ponsel saya, dengan segera sayapun meraih ponsel saya yg berada di meja samping tempat tidur tersebut. Sebuah BBM dari salah satu sahabat yg jujur membuat saya merasa gemes, gatal serta sedikit gerah, sehingga membuat saya merasa perlu untuk menulis artikel di blog ini agar segala sesuatunya menjadi lebih jelas serta gamblang..

BBM salah satu sahabat tersebut berisi tentang beberapa pertanyan. Pertanyaan tersebut diantaranya, apakah betul pada hari rabu tgl 7 September 2011 saya bertemu Alfred Riedl..?? Apa yg kami bicarakan..?? Dan untuk tujuan apa saya bertemu mantan pelatih saya tersebut..??

Jam di ponsel saya menunjukkan pukul 23:03 waktu Singapura, ketika saya menekan huruf (C) pada kalimat Concorde di awal artikel ini. Dewi yg terlihat cukup lelah sudah mulai terlelap dalam tidurnya. Ditemani secangkir teh panas tanpa gula buatan Dewi sebelum ia berangkat tidur, saya ingin menceritakan dengan detail sebuah peristiwa yg ketika saya menulis artikel ini (Di Singapura) tengah menjadi berita yg sangat hangat atau bahkan panas di Indonesia..

Tulisan ini akan sangat berkorelasi dengan salah satu tulisan saya beberapa bulan lalu yg berjudul, (Warna Bendera Dan Lambang Garuda Itu Tidak Akan Pernah Berubah Sampai Kapanpun : 16 Juli 2011). Pada artikel tersebut saya bercerita bahwa pada tgl 13 Juli 2011 malam, saya sempat berbicara melalui telephone dengan Alfred Riedl, pelatih tim nasional yg baru saja dipecat. Disamping berbicara mengenai keadaan tim, malam itu saya juga sempat mengajak mantan pelatih saya tersebut untuk minum kopi atau teh untuk sekedar mengucapkan terima kasih dan selamat tinggal sebelum Alfred kembali ke Austria..

Keesokan harinya atau tgl 14 Juli di Hotel Kartika Chandra, Ketua Umum PSSI yg ketika itu didampingi Wakil Ketua Umum beserta beberapa anggota EXCO baru PSSI menemui kami para pemain. Saat itu terjadi dialog yg sangat hangat antara para pemain dengan pengurus PSSI yg baru, guna membahas kelangsungan tim nasional yg lebih baik dimasa yg akan datang..

Pada kesempatan terpisah setelah pertemuan tersebut, secara pribadi saya menyampaikan kepada Ketum dan Waketum PSSI jika saya dan beberapa pemain berencana menemui Alfred Riedl untuk sekedar menyampaikan salam perpisahan dan rasa terima kasih. Saat itu Ketum dan Waketum mengijinkan dan mendukung hal tersebut, menurut mereka hal tersebut baik untuk menjaga silaturahmi...

Pada perkembangannya, dikarenakan satu dan lain hal pertemuan itu sendiri tidak pernah dapat terlaksana. Kesibukan kami dalam persiapan timnas guna menghadapi play off melawan Turkmenistan dan kesibukan Alfred dalam mengurus kasusnya dengan PSSI, membuat kami pada akhirnya harus menunda pertemuan tersebut sampai dengan batas yg belum ditentukan..

Singkat cerita sampailah pada tgl 5 September 2011 yg lalu. Malam hari setelah saya atau kami lebih tepatnya pulang dari ujicoba lapangan sebelum pertandingan melawan Bahrain, terdapat sebuah missed call di ponsel saya, tertulis nama Alfred Riedl disana. Malam itu sejujurnya saya berniat untuk melakukan panggilan balik ke Alfred, akan tetapi saya pikir akan lebih baik jika saya menghubungi pelatih saya tersebut setelah pertandingan...

Pada tgl 6 September sekitar pukul 23:15 WIB (Setelah pertandingan), saya baru berbicara dengan Alfred melalui telephone. Saat itu di kamar saya terdapat Firman Utina, Markus Horison serta bang Uci (Pembantu umum). Ketika itu Alfred menyampaikan rasa empati serta turut prihatin atas kekalahan Indonesia pada pertandingan yg baru saja usai, Alfred sendiri hanya melihat pertandingan tersebut melalui layar kaca televisi...

Dalam perkembangan pembicaraan kami, saya menyampaikan kapan kiranya kami dapat merealisasikan acara minum kopi atau teh seperti yg sudah kami rencanakan beberapa waktu yg lalu, sekedar sebagai tanda terima kasih dan ucapan selamat tinggal. Kemudian Alfred menyampaikan bahwa dia hanya akan beberapa hari berada di Indonesia, karena pada hari sabtu atau minggu Alfred akan bertolak ke Laos dan mungkin selanjutnya akan kembali ke Austria..

Sedangkan jadwal saya sendiri cukup padat sampai dengan hari minggu ini, satu-satunya hari kosong yg saya punya hanyalah pada hari rabu tgl 7 September. Karena pada tgl 8 September saya harus melakoni kewajiban saya melakukan shooting untuk salah satu iklan. Sedang pada hari jum'at tgl 9 sampai minggu tgl 11 September, saya akan berada di Singapura untuk menjenguk manager Persija Jakarta Bpk Harianto Bajoeri yg tengah sakit dan dirawat disana...

Oleh karena kesibukan tersebut sayapun mengajak Alfred untuk bertemu pada hari Rabu tgl 7 September, karena dalam perhitungan saya itu adalah satu-satunya kesempatan untuk dapat bertemu dengan Alfred. Di akhir pembicaranya melalui telephone tersebut, saya berkata "Besok siang antara pukul 12:00 atau 13:00 saya akan telephone untuk memastikan jadi atau tidaknya", diujung sana Alfred menjawab, "Ok saya tunggu telephone kamu besok Bambang"...

Keesokan harinya tgl 7 September siang hari akhirnya disepakati jika kami akan minum teh di Plaza Senayan pada sore hari, ketika itu Alfred meminta saya untuk memilih tempatnya. Dan dengan sangat yakin sayapun memilih salah satu restaurant favorit saya di Plaza Senayan yaitu Roemah Rempah, yg berada di lantai 4 tepat di bawah XXI Cinema..

Saya sempat menyampaikan rencana pertemuan saya tersebut kepada beberapa pemain timnas yg berdomisili di Jakarta. Beberapa pemain menyampaikan keinginannya untuk bertemu Alfred Riedl, akan tetapi dikarenakan rencana ini sangat mendadak dan kesibukan pemain-pemain sendiri, akhirnya hanya ada 3 orang pemain yg bertemu dengan Alfred Riedl dan Wolfgang Pikal sore itu (Bukan 7 pemain seperti yg berkembang di media masa). Pemain tersebut adalah saya (Bambang Pamungkas), Firman Utina dan Markus Horison (Dapat di cek di akun instagram saya @bepe20, terdapat photo kami berlima yg saya upload pada kisaran pagi hari tgl 8 September 2011)..

Pertemuan tersebut sendiri berjalan dengan sangat hangat, kami banyak bercerita dan bercanda sambil menikmati teh pesanan kami masing-masing. Suasana Plaza Senayan sore itu boleh dikatakan cukup hiruk-pikuk, restaurant Roemah Rempah sendiri nampak cukup ramai...

Sebuah kebohongan besar jika dua pelatih sepakbola yg tengah bertemu dengan tiga pemain sepakbola tidak membicarakan tentang sepakbola. Maka dari itu kamipun banyak berdiskusi tentang hal-hal yg terjadi akhir-akhir ini dalam dunia sepakbola, tidak luput mengenai pertandingan semalam antara Indonesia melawan Bahrain...
Dalam perbincangan tersebut tidak ada sedikitpun ucapan Alfred yg terkesan memprovokasi kami untuk melawan Wim Rijsbergen, seperti asumsi yg berkembang di masyarakat luas. Kabar 7 pemain nasional yg menyatakan tidak ingin bermain di bawah asuhan Wim Rijsbergen, sejatinya sudah terjadi sejak malam setelah pertandingan tgl 6 september. Sedang kami sendiri baru bertemu dengan Alfred dan Wolfgang pada tgl 7 September, sore hari..

Jadi jika ada berita yg beredar bahwasanya pertemuan saya dengan Alfred Riedl lah yg menyebabkan 7 pemain tidak bersedia dipanggil timnas jika Wim Rijsbergen masih menangani timnas, jelas sebuah kesalahan besar. Sedekar untuk di ketahui, jika 7 pemain yg menyatakan tidak bersedia bermain di bawah Wim tersebut, menyampaikannya kepada management timnas sesaat setelah pertandingan selesai, atau pada kisaran pukul 24:00 WIB tgl 6 September. Sedang saya sendiri baru mengetaui berita tersebut dari Manager tim nasional Ferry Kodrat, saat beliau memanggil saya kekamarnya pada pukul 02:00 pagi hari tgl 7 September. Jadi logikanya bagaimana mungkin pertemuan sore itu tgl 7 September dapat mempengaruhi keputusan yg sudah dibuat tadi malam tgl 6 September, sangat tidak mungkin bukan.

Sejujurnya hal yg membuat pemain sangat kecewa kepada Wim Rijsbergen adalah komentar beliau sesaat setelah pertandingan, yg terkesan melempar segala kesalahan kepada pemain. Saya yakin semua pemain kecewa dengan komentar tersebut, akan tetapi sejauh ini hanya 7 pemain yg menyampaikan keberatan untuk bermain di bawah asuhan Wim di tim nasional..

Pertemuan saya, Firman, Markus, Wolfgang dan Alfred sendiri lebih kepada ucapan perpisahan dalam kapasitas sebagai sahabat, tidak lebih dan tidak kurang. Dan apakah ada yg salah mengenai hal tersebut, saya rasa tidak. Jika dilihat dari waktu pertemuannya, mungkin memang sedikit kurang tepat, akan tetapi pada kenyataannya hanya pada hari itu saya mempunyai kesempatan untuk dapat bertemu dengan Alfred. Jika saya tidak melakukannya sore itu, mungkin saya tidak akan memiliki kesempatan lagi untuk mengucapkan terima kasih dan selamat tinggal kepada Alfred Riedl..

Pertemuan tersebut sekali lagi hanyalah acara minum sore sebagai sahabat, tidak ada agenda lain seperti yg dituduhkan oleh beberapa kalangan. Karena acara tadi yg bersifat santai, maka kami memilih Plaza Senayan yg notabene sangat ramai dan terbuka. Bahkan saya sempat memasang photo kami berlima di akun instagram saya @bepe20. Itu artinya acara minum sore ini tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau kami rahasiakan..

Jika acara tadi bertujuan negatif dan di rahasiakan, mengapa kami tidak bertemu di apartement Alfred saja atau sebuah hotel misalnya, yg tidak memancing perhatian khalayak ramai. Sekali lagi karena acara ini tidak mengandung tendensi apapun, maka kami membuatnya di sebuah restaurant yg berada di pusat perbelanjaan yg sangat terkenal di ibukota negara ini..

Jika pada akhirnya pertemuan saya dengan mantan pelatih saya tersebut, mengusik ketenangan instansi PSSI. Maka secara pribadi maupun sebagai kapten tim nasional, saya bersedia dan siap dipanggil Ketua Komisi Disiplin Bernard Limbong guna dimintai keterangan, seperti berita yg berhembus di Jakarta hari ini (9 September 2011)..

Bahkan sore tadi melalui BBM dari Singapore, saya sempat menyampaikan pesan kepada Manager tim nasional Ferry Kodrat yg berisi demikian..

"Boss kalo Komdis mau ketemu aku, sekarang posisiku di Singapore.. Minggu depan baru balik Jakarta.. Minggu depan saya siap menghadap jika dipanggil.."

Yang harus Ketua Komisi Disiplin lakukan hanyalah menekan nomer tlp saya di ponsel nya dan meminta saya menghadap. Dan sesegera mungkin saya akan menghadap beliau di kantor PSSI..

Di tengah keheranan saya akan terlalu dibesar-besarkannya masalah ini, sempat terlintas di benah saya. Jika saja waktu itu saya bertemu dengan pelatih lain seperti Rahmad Darmawan misalnya. Apakah mereka juga akan berpikir jika pemain berniat curhat dan lebih suka jika dilatih oleh pak RD, yg notabene sukses dan sangat berpengaruh dalam mendampingi Wim Risjbergen, dalam 2 partai awal melawan Turkmenistan. Atau jangan-jangan pertemuan saya dengan alfred riedl tersebut menjadi sebuah masalah, karena sosok Alfred yg sekarang membuat PSSI harus berurusan dengan FIFA karena masalah pelanggaran kontrak kerja..??

Mari kita fokus pada permasalahan dan jangan berpikir terlalu sempit saudara-saudara. Sekali lagi permasalahan yg sebenarnya adalah komentar Wim Risjbergen setelah pertandingan yg terkesan melimpahkan segala kesalahan kepada pemain, bukan masalah pemain bertemu siapa setelah pertandingan tersebut. Toh pertemuan itu sendiri sejatinya dilakukan disaat pemain sudah keluar dari pemusatan latihan, itu artinya setiap pemain bebas dan berhak bertemu dengan siapapun serta membahas masalah apapun..

Jika saja ada waktu yg lebih panjang, maka sudah pasti saya akan menunda pertemuan saya dengan Alfred Riedl. Akan tetapi dikarenakan jadwal kami yg cukup padat, maka pertemuan tersebutpun harus dilaksanakan pada hari rabu 7 September atau sehari setelah pertandingan. Jadi sejujurnya apapun hasil dari pertandingan hari Selasa itu (Menang, draw ataupun kalah), tidak akan berpengaruh sama sekali pada rencana pertemuan saya dengan Alfred Riedl..

Bangsa kita selalu dengan bangga mengatakan jika kita adalah bangsa yg ramah, penuh sopan santun serta menjungjung tinggi adat ketimuran. Akan tetapi jika pertemuan saya, Firman dan Markus dengan Wolgang serta Alfred yg sejatinya hanya untuk menjaga silahturahmi dan ucapan rasa terima kasih tersebut, di beritakan dengan begitu berlebihan. Saya menjadi sangsi, apakah kita sudah cukup ramah dan sopan sebagai sebuah bangsa..?? atau kita sudah mulai melupakan budaya arif yg sudah turun temurun dari nenek moyang kita tersebut..??

Mari kita tanyakan kepada hati kecil kita masing-masing..

Selesai...

Ingin Penghasilan Rp 300.000 Per Hari?


Kalau tidak (tahu) malu, jadilah pengemis!
He... he... Bukan anjuran seius, lho! Tapi sebuah kalimat sinisme. Ya, sinis. Sinis terhadap tipisnya harga diri yang hanya mau menadahkan tangan. Sinis terhadap penghinaan mereka terhadap Allah. Mereka lebih mengedepankan urusan perut daripada urusan iman padahal saat itu sedang berlangsung Sholat Ied. Betapa mereka rela hanya menunggui orang sholat ied. Mengapa tidak bergabung dalam jamaah sholat ied? Bukan orang Islamkah para pengemis itu? Atau besarnya pahala yang Allah janjikan tak senilai dengan rupiah yang mereka tampung?

Terakhir, saya juga sinis terhadap para dermawan dadakan yang begitu bermurah hati memberikan rezeki yang diamanatkan Allah kepadanya untuk diberikan pada penghina Allah dan dirinya sendiri. Tidak tahukah mereka bahwa di Hari Akhir nanti yang ditanyakan bukan sekadar dari mana rezeki kita dapatkan tetapi juga ke mana rezeki itu kita salurkan. Mudah-mudahan bukan kenaifan yang dikedepankan...


"Rezeki Pengemis di Idul Fitri, Rp 300 Ribu dalam Satu Jam"

Marisha Arianti - detikRamadan, Rabu, 31/08/2011 16:40 WIB, Jakarta - Di hari-hari terakhir Ramadan, pengemis sangat mudah ditemukan. Bahkan di tempat-tempat yang menjadi titik salat Idul Fitri, banyak pengemis yang telah bersiap-siap. Tak heran jika dalam waktu singkat, ratusan ribu rupiah mereka dapatkan.

"Dapat Rp 300 ribu," ujar seorang pengemis saat ditanya detikRamadan di depan Masjid Al Azhar, Jakarta, Selasa (30/8/2011) kemarin seusai salat Idul Fitri.

Saat itu belasan pengemis telah berada di sekitar Masjid Al Azhar sejak pagi. Kebanyakan dari mereka adalah para manula. Namun ada juga sosok-sosok yang masih segar bugar. Untuk menarik belas kasihan, ada juga yang membawa anak-anaknya yang masih kecil.

Ketika salat Id usai, para pengemis ini menyerbu kerumunan jamaah. Mereka meminta-minta dengan wajah memelas. Para jamaah pun tak segan membagi rezekinya. Rp 2.000 hingga Rp 20.000 dengan mudah berpindah tangan ke tangan para pengemis tersebut.

Saat masjid sudah kosong, para pengemis ini duduk-duduk di pinggir jalan. Mereka menghitung perolehannya sambil berbincang-bincang dengan pengemis lainnya.

Rupanya pengemis yang menderita cacat fisik mendapat penghasilan lebih banyak ketimbang yang lain. Sepasang suami istri pengemis terlihat ceria menghitung uang yang diperolehnya. Mereka sesekali tertawa riang.

Belajar dari Kearifan Pribumi

Judul Buku : Pelangi Nurani
Penulis : Asma Nadia dan Helvy Tiana Rosa
Penerbit: PT Syaamil Cipta Media
Tahun : Februari, 2002
Tebal : 144 halaman

Sebuah buku inspiratif berisikan 32 kisah nyata yang ditulis ulang oleh kakak-adik pendekar sastra Islami, Asma Nadia dan Helvy Tiana Rosa. Isi buku ini diklasifikasikan atas enam tema, yaitu Tentang Cinta dan Pengorbanan, Tentang Makna dan Pengajaran, Tentang Sudut Pandang, Tentang Perhatian dan Persahabatan, Tentang Sikap, dan Tentang Sakit dan Kematian. Hal ini tentu saja memudahkan pembaca untuk memilih kisah mana yang ingin dibaca terlebih dulu. Hampir seluruh kisah dapat menyentuh hati. Kisah yang paling menyentuh antara lain adalah “Untuk Adik-Adik di Rumah”, “Sumbangan”, dan “Pelajaran Berharga”. Namun, kisah yang lain pun tidak bisa dilewatkan begitu saja. Apalagi setiap kisah umumnya berlangsung singkat sehingga tidak terlalu memakan waktu untuk menemukan hikmah di dalamnya.

Buku ini ibarat tetes embun yang dibutuhkan manusia Indonesia, khususnya umat Islam, saat ini. Begitu banyak kisah inspiratif yang dapat kita baca, tetapi yang bernuansa lokal dengan corak Islami barangkali masih sedikit. Buku ini sebenarnya dapat mengobati kerinduan kita akan motivasi-motivasi yang lebih realistis dan membumi. Buku ini mampu menguras air mata tanpa diminta. Sayangnya pengemasannya terlalu ‘ala kadarnya’.

Saat pertama kali menemukan buku ini di toko buku, peresensi mendapatkannya di lemari bagian bawah bercampur dengan buku-buku dengan kemasan tidak menarik lainnya. Harganya juga cukup murah untuk saat itu (22 Oktober 2003), yaitu Rp. 18.500. Satu hal yang sekiranya dapat dipertimbangkan oleh penerbit untuk mencetak ulang dengan kemasan yang lebih pantas untuk buku berbobot ini.

Petikan Kisah Penggugah Jiwa

Sekadar mengingat kembali petikan kisah penggugah jiwa:

Selesai makan kami menaruh kardus sisa makanan di kolong meja masing-masing dan bersiap-siap mengikuti ceramah di ruang utama. Karena notes saya ketinggalan, setengah berlari saya pun kembali ke ruang diskusi ditemani Sari.

Saya hampir tak percaya pada apa yang kami lihat di ruang diskusi. Tak ada siapa pun. Hanya Toto yang sedang melongok meja kami masing-masing dan mengeluarkan kardus sisa makanan kami semua. Saya menatapnya tak mengerti. Dan sebelum saya bertanya, Toto tersenyum, setengah menunduk.

“Untuk adik-adik di rumah, … mereka pasti gembira….”



“Untuk Adik-Adik di Rumah”, Pelangi Nurani:Kumpulan Kisah_Kisah Kidupan untuk Memperkaya Jiwa,
Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia, Bandung PT Syaamil Cipta Media.




Alkisah seorang warga Jambi yang kaya raya melangsungkan pesta besar. Hajatan itu bertujuan untuk mencari jodoh putri semata wayangnya. Banyak pemuda yang turut hadir. Tuan rumah telah menyiapkan kolam yang diisi dengan ular berbisa dan buaya. Tuan rumah menantang para tamunya untuk berenang menyeberangi kolam yang ada di hadapan mereka. Barangsiapa yang berhasil berenang sampai ke seberang kolam, ia diperbolehkan memilih salah satu dari tiga hadiah yang disediakan. Pertama, berhak menikahi putrinya dengan segala hak waris orang tuanya. Kedua, memperoleh seratus ribu hektar kebun kelapa sawit yang siap panen. Lalu ketiga, berhak atas uang tunai sebesar 100 juta rupiah dengan seperangkat perhiasan emas dan berlian.

Belum selesai tuan rumah memberi sambutan untuk lomba tersebut, tiba-tiba terdengar bunyi ceburan air yang keras dan disusul oleh gerakan renang yang begitu cepat sepanjang kolam. Semua mata terpaku takjub dan heran. Siapa gerangan orang yang begitu antusias mengikuti perlombaan tersebut?

Dia ternyata seorang pemuda yang lumayan ganteng. Tuan rumah begitu senang melihat respon proaktif pemuda itu. Si pemuda ditanya mengenai hadiah yang akan dipilihnya. Si pemuda hanya menggeleng.

“Kalau begitu apa yang Anda inginkan?” tanya tuan rumah penasaran.

Dengan nafas masih terengah-engah si pemuda menjawab,

“Saya hanya ingin tahu, siapa yang mendorong saya ke kolam tadi?!”



Setengah Isi Setengah Kosong, Parlindungan Marpaung

Tidak Lulus karena Bahasa Indonesia? Ampuuun....

Tidak lulus Ujian Nasional karena Matematika? Mungkin sebagian besar orang akan menganggap sebagai suatu kewajaran. Namun, harus tertinggal di SMU hanya gara-gara mata pelajaran Bahasa Indonesia? Ampuuun, deh! Panjenengan bocah Londo, Le?

Saya yakin mayoritas Guru Bahasa Indonesia telah meyakinkan muridnya saat menjelang Ujian Nasional. Tidak perlu belajar mati-matian untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia. Soal UN Bahasa Indonesia lima tahun belakangan ini sudah tidak menuntut itu. Kebanyakan soal terkait dengan kegiatan membaca. Sekali lagi, MEMBACA!

Lalu, mengapa masih ada yang harus tertinggal di Bahasa Indonesia? Kemungkinan besar karena mereka memang tidak gemar dan tidak membiasakan diri untuk membaca. Kebiasaan hidup serba instan membuat mereka enggan untuk sedikit berlelah diri dalam menangkap sebuah informasi. Kalaupun masih mau membaca, sifatnya tetap saja yang serba instan seperti sms-an, chatting, status fb, bbm-an, dan yang sejenisnya. Andai saja saat online mereka sempatkan membuka situs/website/blog informasi, kegiatan membaca ini tentunya dengan sendirinya akan menjadi budaya.

Tentu ini bukanlah kesalahan mereka semata. Ada banyak faktor penyebab lainnya. Nyaris mustahil budaya membaca bisa tumbuh di tengah keluarga atau lingkungan yang masih alergi dengan kegiatan multimanfaat ini. Bak mengharap turunnya hujan di musim kemarau. Di negeri ini masyarakat yang senang membaca hanya 23,5%. Yang hobi mendengarkan radio cuma 40,3%. Adapun yang maniak menonton televisi bisa mencapai 85,9%.*)

Dari sedikit orang yang masih menjadikan membaca sebagai sebuah kegiatan rutin, hanya 21,07% yang senang pada bacaan ilmu pengetahuan. Yang suka membaca majalah atau tabloid sebanyak 29,22%. Yang hobi membaca buku cerita ada 16,72%. Yang membaca koran di hari Minggu terdapat 55,11%. Adapun yang membaca buku pelajaran sekolah ada 44,28%.**) Bisa dibayangkan, bagaimana akan terlahir generasi yang akrab dengan bacaan jika mereka terlahir dari bagian masyarakat yang seperti ini....

Nah, sekarang nasi telah menjadi bubur. Buat siswa-siswa yang saat ini duduk di kelas VII dan VIII SMP serta X dan XI SMU, jadikanlah ini sebuah peringatan. Bahasa Indonesia memang gampang tetapi jangan digampangin. Mulai sekarang: BACA, BACA, dan BACA! Termasuk penggalan artikel ini:

“Bahasa Indonesia Tersulit”

Bahasa Indonesia dan Matematika merupakan dua mata pelajaran yang membuat banyak peserta Ujian Nasional (UN) 2011 tidak lulus. Sebanyak 2.391 siswa tidak lulus karena Matematika dan 1.780 siswa tidak lulus karena mata pelajaran Bahasa Indonesia.

Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional, Mansyur Ramly, ada beberapa hal yang menyebabkan Bahasa Indonesia selalu menjadi kesulitan bagi siswa. Siswa di Indonesia tidak dibiasakan untuk sering membaca dan memahami teks. Selain itu, siswa terlalu terburu-buru dalam membaca soal sehingga hasilnya salah.

Republika, Selasa, 24 Mei 2011

*) data 2006
**) data BPS 2003 untuk penduduk di atas 15 tahun

Ketidakhadirannya Menimbulkan Kerinduan

Sahabat. Kata indah yang mudah diucapkan tetapi sulit didefinisikan secara pasti. Apakah ia yang secara fisik kerap berada di dekat kita? Ataukah ia yang selalu menjadi tempat kita berbagi cerita? Bagi saya, sahabat adalah teman yang saat ketidakhadirannya menimbulkan kerinduan, baik secara fisik atau psikologis.

Saya termasuk manusia yang introvert. Namun, karena kasih-Nya, meskipun terkesan mustahil saya sempat merasakan nikmatnya persahabatan. Hanya segelintir jumlahnya. Sebagian besar di antaranya bahkan hanya sesaat kebersamaannya, seperti sahabat yang saya bicarakan ini. Sahabat yang dengan mengenalnya akhirnya saya bisa merasakan betapa indahnya jalinan persahabatan.

Sahabat saya ini termasuk orang yang gigih dalam mendekati saya. Padahal, selama ini banyak orang yang ‘mengundurkan diri’ karena sikap saya yang tertutup dan terkesan kurang ramah. Sesungguhnya dari upayanya ini terlihat kualitasnya yang berbeda dari teman-teman kebanyakan. Betapa ia mengetahui bahwa celah-celah di hati saya perlu diisi kehangatan jiwa lain di balik dingin dan bekunya perilaku saya. Termasuk kebesaran hatinya untuk menjaga aib saya.

Kebersamaan kami tidak begitu lama. Ia harus berpindah ladang kerja. Barangkali saat itu saya adalah orang yang paling kehilangan di antara teman-teman lain yang juga mengakui kebaikannya. Ia selama ini orang yang paling supel dan membaur. Teman nonmuslim pun merasakan, meskipun sahabat ini sangat Islami tetapi ia merasa sangat dekat. Saya sendiri tidak pernah melihatnya marah. Padahal ia seorang laki-laki dengan usia masih cukup muda.

Kini komunikasi kami tidak lagi rutin. Namun, apa yang ia sampaikan tetap saya kenang. Salah satunya adalah SMS-nya di hari lebaran kemarin;

“Ketika diri ini disanjung dan dikagumi banyak orang, maka sungguh Allah Mahatahu siapa diri ini. Ketika diri ini berbuat dosa dan aib, Allah begitu halus menutupinya. Bukan karena kita pantas ditutup-tutupi tetapi karena Allah begitu bermurah memberi kita kesempatan untuk memperbaiki semuanya; segala yang salah, segala yang khilaf, segala yang rusak…”

Duhai Sahabat, sesungguhnya diri ini benar-benar berada di dalam kerinduan!

Jakarta, 15 Mei 2011

Reformasi: In Memoriam

Tiga belas tahun lalu negeri ini sempat mempunyai mimpi. Reformasi. Sebuah kata yang saat itu masih merupakan kata asing yang belum pernah, atau bahkan tidak pernah, kita gunakan dalam percakapan sehari-hari. Kalaupun ada yang sudah memakainya, konteksnya belum merujuk pada perubahan kehidupan politik.

Di tahun itu, sebagian kakak-kakak, teman-teman, dan adik-adik kampus menjadi bagian dari yang namanya Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Ada yang hanya level jurusan, fakultas, kampus, bahkan provinsi. Saya sendiri saat itu hanya berada pada tingkat jurusan. Kami mencoba mengisi masa-masa kehidupan di kampus dengan sesuatu yang berarti, yaitu berorganisasi.

Hari itu kampus kami mengadakan sebuah pameran antarjurusan. Pengurus BEMJ kami dengan beberapa dosen muda mempersiapkan segala hal yang bisa kami tunjukkan pada pameran tersebut. Di saat bersamaan, teman-teman lain juga sedang melakukan orasi damai terkait dengan tuntutan pergantian rezim.

Siang hari tersiar kabar dari luar kampus bahwa kerusuhan dan pembakaran terjadi di mana-mana. Sebagian besar mahasiswa panik. Yang tinggal/kos di dekat kampus kembali ke kediamannya dengan mengajak beberapa rekan untuk menginap. Yang jauh dari kampus dihimbau untuk tetap berada di kampus karena transportasi mati, tidak ada angkutan umum yang beroperasi. Saya, meskipun tinggal di dekat kampus, memilih untuk bersama teman-teman di kampus. Solidaritas, kata saya.

Keadaan semakin mencekam menjelang malam. Perasaan khawatir sangat terasa, apalagi di jurusan kami mayoritas perempuan. Dapur umum diadakan di salah satu kantin kampus. Saya dan beberapa teman laki-laki bertugas mengambil jatah jurusan kami. Di sinilah saya geleng-geleng kepala. Dalam keadaan susah yang baru permulaan saja sudah terjadi hukum rimba. Sekelompok mahasiswa pria dari sebuah jurusan yang terkenal arogan mendominasi dapur umum. Mereka makan terlebih dahulu dengan porsi kesetanan. Benar-benar tidak memikirkan orang lain. Mereka seperti tidak tahu bahwa memasak untuk banyak orang membutuhkan banyak waktu. Berkarung-karung beras menjadi tidak seberapa dibandingkan jumlah mahasiswa sebuah kampus besar. Jurusan kami dan jurusan lain akhirnya harus menunggu beras dimasak lagi. Kami membawa bagian yang hanya sedikit karena hari sudah terlalu larut malam, khawatir selera makan teman-teman sudah tidak ada. Seingat saya, saya pun tidak ikut makan. Selera makan saya hilang. Bukan saja oleh suasana yang mencekam tetapi juga dengan pengalaman di dapur umum tadi.

Tengah malam sekelompok masyarakat dari luar (kabarnya dari daerah Priok) memprovokasi kami. Kami tidak terpancing. Untungnya, mereka pun tidak memaksa dengan fisik. Sebagian besar dari kami masih dapat pulas tidur di kampus.

Saat pendudukan DPR/MPR saya tidak menjadi bagian dari teman-teman mahasiswa. Saya hanya mendapatkan 'siaran langsung' dari seorang teman yang dengan 'bangganya' berada di sana. Dia beralasan bahwa keberadaannya di sana ingin menjadi 'saksi sejarah'. Saya tertawa mendengarnya. Saat kami berkomunikasi saya sedang memberikan les private kepada keponakan saya. Yah, terkesan mengedepankan urusan perut memang. Namun, ketika saya lapar dan butuh ongkos bus serta fotokopi materi kuliah, tentunya tidak akan ada yang bisa menjamin bahwa teman-teman saya itu akan peduli. Realistis sajalah!

Sekarang kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini terasa semakin karut marut. Politisi-politisi busuk yang terlibat dalam persekongkolan jahat ternyata juga dulunya pernah menjadi aktivis mahasiswa. Mereka menuntut rezim sebelumnya untuk mereformasi diri menjadi orde baru. Politisi-politisi masa kini pun tak jauh berbeda. Mereka yang sekarang banyak dihujat juga dahulunya adalah bagian dari mahasiswa penuntut reformasi. Ya, sejarah memang akan terus berulang!

Artikel berikut ini saya kutipkan sebagai informasi mengenai aktivitas beberapa aktivis 1998 dulu dan sekarang, tetapi sayangnya tidak ada nama-nama mereka yang sekarang bernaung di bawah pohon beringin yang sempat heboh dibicarakan:

"Aktivis 1998: Dulu dan Kini"

Oleh Famega Putri
Newsroom Blog, Kamis, 12 Mei 2011

Gerakan rakyat tahun 1998 tak akan berhasil menggulingkan Suharto tanpa peran mahasiswa dan aktivis. Empat mahasiswa Elang Mulya Lesmana, Hafidhin Royan, Hery Hertanto, dan Hendriawan Sie, gugur pada Tragedi 12 Mei 1998.

Siapa saja aktivis 1998, dan apa yang mereka lakukan kini? Inilah mereka, di antaranya:

Pius Lustrilanang
1998: Aktivis LSM yang diculik pada 4 Februari 1998. April 1998, Pius menjadi orang pertama yang berani menceritakan tentang penculikannya. Pengakuan ini menyebabkan dia harus mengungsi ke Belanda demi keamanan. Belakangan diketahui penculikan dilakukan oleh Komando Pasukan Khusus yang dipimpin Prabowo Subianto. (Tempo)

Sekarang: Politikus Partai yang dipimpin Prabowo, Gerindra. Anggota DPR periode 2009-2014 ini terancam dipecat dari partainya karena mendukung pembangunan gedung baru DPR.

Heru Cokro
Dulu: Koordinator lapangan dalam pendudukan Gedung DPR/MPR pada Mei 1998.

Kini: Pengusaha di bidang konsultasi manajemen, anggota Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI).

Rama Pratama
1998: Ketua Senat Mahasiswa Universitas Indonesia 1997-1998.

Kini: Politikus Partai Keadilan Sejahtera. Disebut-sebut oleh terpidana korupsi Abdul Hadi Jamal dalam sidang suap proyek dermaga di Indonesia Timur. (Tempo)

Munir Said Thalib
1998: Pemimpin Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan. Munir membela para aktivis yang diculik, salah satunya adalah Pius Lustrilanang. (Tempo)

Kini: Diracun di udara dalam penerbangan menuju Belanda, 7 September 2004. Dalang pembunuhnya masih gelap.

Andi Arief
1998: Ketua Senat Mahasiswa Fisip UGM 1993-1998, juga menjadi Ketua Umum Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi Cabang Yogyakarta tahun 1996. Aktivitasnya ini menyebabkan dia diculik oleh Komando Pasukan Khusus yang dipimpin Prabowo Subianto. (Tempo)

Kini: Staf khusus presiden bidang bantuan sosial dan bencana.

Taufik Basari
1998: Aktivis dan mahasiswa fakultas hukum Universitas Indonesia.

Kini: Pengacara kasus-kasus pelanggaran HAM. Tim pengacara Bibit dan Chandra, koordinator tim advokasi lumpur lapindo.

Menyikapi Sang Pengais Iba

Pernah Anda (tidak) melihat pengemis, khususnya di Ibukota? Apa yang terlintas di benak Anda saat melihat mereka? Terharu penuh biru karena ternyata masih banyak orang bernasib lebih kelabu dibandingkan Anda? Terperanjat penuh pana karena di negeri yang katanya keping surga ini masih banyak insan yang menadahkan tangan? Tersenyum bahagia penuh bijaksana karena Anda menganggap mereka sebagai ladang amal Anda? Apa pun jawabannya, ada baiknya mulai saat ini Anda merevisi ulang cara pandang mata badani dan mata hati Anda. Sudah proporsionalkah? Artikel berikut sekadar salah satu reverensi bagi Anda dalam menempatkan diri Anda dalam kepungan pengemis yang kian mewabah di Indonesia:

"Dari Tape hingga Sewa Bayi, Inilah Modus Pengemis Pantura Kelabui Warga Jakarta"

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA - Masyarakat Jakarta dihimbau untuk tidak memberikan lagi bantuan, uang misalnya, kepada pengemis di jalanan. Hal ini dilakukan agar Jakarta bisa bebas dari PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial).

Pengemis banyak ditemui di jalanan, perempatan, pinggir jalan, bawah jembatan, atas jembatan penyeberangan, dan lain sebagainya. Mereka selalu mencari tempat strategis yang banyak dilewati orang. Ini tak lain agar banyak orang bisa memberinya uang.

Purwono, Kepala Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 3, membenarkan adanya peraturan agar tak boleh lagi memberi uang pada pengemis di jalan. Apabila tak ada lagi orang yang memberi uang di jalan, pengemis akan kapok dan tak akan lagi menjadi pengemis. "Mereka akan cari pekerjaan pengganti," katanya.

Ia juga mengingatkan agar masyarakat tidak tertipu dengan penampilan pengemis dan merasa iba pada mereka. Pengemis merupakan PMKS. Pengemis, menurutnya, itu kebanyakan bukan orang asli Jakarta. "Sebagian besar dari pantura," katanya.

Modus Pengemis

Purwono menjelaskan bahwa pengemis-pengemis ini sengaja ingin membodohi masyarakat Jakarta agar memberinya uang. Pengemis juga banyak melakukan modus agar orang-orang merasa iba kepadanya.

Mereka sengaja memakai baju compang-camping agar orang mengira bahwa mereka tak sanggup membeli baju laik. Padahal, penghasilannya yang diperoleh dari mengemis itu bisa mencapai ratusan ribu dalam sehari.

Beberapa pengemis dengan sengaja membuat luka pada tubuhnya dan memberinya tape agar lalat menempel pada tubuhnya. Terkadang, tubuhnya juga dibuat seperti buntung. Tujuannya adalah agar orang kasihan karena orang cacat seperti mereka tak punya kesempatan lain untuk bekerja selain hanya bisa mengemis.

Pengemis perempuan bahkan sering menyewa bayi. Bayi tersebut dibawa mereka keman-mana agar orang merasa iba bahwa ada seorang ibu yang membawa bayi dan membutuhkan uang. Tak jarang pantat dari bayi yang disewanya tersebut dipukul agar menangis. Ini tak lain guna menambah keibaan.

Magdalena Sitorus, seorang aktivis kemanusiaan, pun tidak setuju dengan adanya pengemis. "Saya tidak respek pada mereka," katanya. Ia juga mengharapkan agar seluruh masyarakat tahu dan paham bahwa pengemis itu adalah sebuah gangguan. Mereka bukan sebuah hal yang harus dibantu.

http://www.republika.co.id