Miniatur Orang Indonesia

  

"Miniatur Orang Indonesia"

Judul Buku : Orang-Orang Proyek
Penulis : Ahmad Tohari
Penerbit : Gramedia

(Sebuah Ulasan terhadap Orang-Orang Proyek karya Ahmad Tohari)

            Membaca novel berlatar waktu antara tahun 1991-1992 dengan setting sebuah desa di Pulau Jawa ini tidak ubahnya membaca kehidupan manusia Indonesia secara utuh. Sebagian besar masyarakat yang cenderung pragmatis, mengikuti arus kebanyakan. Mencoba realistis, dalih mereka. Adapun mereka yang tetap mengusung idealisme sangatlah sedikit. Dari yang sedikit ini pun banyak yang masih terlihat gamang dengan sikap yang mereka ambil.

            Ahmad Tohari memotret kegamangan tersebut. Betapa tidak sedikit mereka yang sebelumnya pengusung bendera idealisme berubah menjadi pengabdi pragmatisme. Atau paling tidak, terseret arusnya yang memang mahadahsyat. Bukan berita baru bahwa seorang mahasiswa mantan aktivis langsung berubah seratus delapan puluh derajat menjadi manusia pasivis saat ia berada dalam lingkaran kekuasaan.

            Beragam argumentasi lalu muncul untuk pembenaran fenomena tersebut. Dominasi orang-orang yang pro-status quo dianggap masih terlalu menggurita. Mustahil bagi si bayi reformis menaklukkannya. Keadaan yang ternyata terlihat sangat berbeda ketika dipandang dari sudut pandang yang berbeda pula. Menjadi pemimpin tidaklah semudah menjadi orang yang dipimpin. Menjadi penulis pun tidaklah semudah menjadi seorang pembaca. Ya, menjadi pemain memang tidaklah semudah menjadi seorang penonton!

            Tak jarang kritikan yang diberikan pada mereka berubah menjadi bumerang. Para pengritik ini pun akan balas dituduh sebagai orang yang iri hati, barisan orang sakit hati, ataupun penderita post power syndrome. Tidak sepenuhnya benar tuduhan tersebut. Namun, itu juga berarti tidak sepenuhnya salah.

            Melalui novel Orang-Orang Proyek Ahmad Tohari mengungkap realitas tersebut. Tokoh-tokoh seperti Kabul, Pak Tarya, Basar, Dalkijo, dan yang lainnya ia munculkan sebagai pantulan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Dan, berbicara tentang orang-orang proyek berarti kita juga berbicara tentang orang-orang Indonesia dari segala profesi: insinyur, politisi, dokter, pegawai negeri, kepala desa, mahasiswa, guru dan lainnya.

Kabul: Sebuah Pertarungan antara Idealisme dengan Pragmatisme
            Insinyur muda ini merupakan tokoh sentral dalam cerita. Alumnus sebuah Fakultas Teknik ini termasuk aktivis yang idealis. Masa perkuliahannya diwarnai dengan bermacam kegiatan demonstrasi dan diskusi. Sayang, perjuangannya tidak berlangsung mulus. Karena faktor ekonomi, ia lebih cenderung bekerja untuk menghidupi ibu dan kedua adiknya daripada melanjutkan dua aktivitas tersebut. Namun, idealisme yang ia miliki tidak berubah.

            Setelah beberapa kali menjadi pelaksana proyek pembangunan, ia dihadapkan pada kenyataan pahit. Idealismenya berbenturan dengan pragmatisme bosnya, yang juga kakak angkatannya semasa kuliah. Perihnya lagi, ia juga harus menyaksikan sendiri bagaimana polah tingkah mereka dalam menguras harta negara yang notabene juga harta rakyat. Semua berlangsung di depan mata. Berbagai usahanya untuk menyadarkan oknum-oknum tersebut menemui jalan buntu. Ia terpaksa memilih, tetap berada di lingkaran tersebut dengan konsekwensi kerap mengelus dada atau keluar dari sana dengan risiko yang tidak minimal.

Pak Tarya: Setelah Lengser Keprabon …
            Si Ahli Pemancing yang mahir meniup seruling ini merupakan pensiunan pegawai Kantor Penerangan. Mantan wartawan juga, katanya. Ayahnya mati dibunuh para patriot muda di desanya. Hebatnya, ia mampu menghapus dendamnya pada pembunuh ayahnya.

            Di usia tuanya ia menjadi manusia yang sangat arif. Ia yang memang sejak kecil dibesarkan di suasana pedesaan sangat karib dengan alam. Ia tetap menjadi orang yang nrimo. Bukan saja menerima kenyataan bahwa sebagai pensiunan pegawai ia tidak dapat hidup lebih dari cukup untuk isteri dan kedua anaknya, tetapi juga menerima dengan senyuman untuk impotensi yang dideritanya.

Basar: Realitas Mantan Aktivis dalam Pemerintahan
      Sahabat Kabul ini seorang Kepala Desa di tempat Kabul menjalankan proyek terakhirnya. Mantan mahasiswa Fakultas Sospol yang juga aktivis ini bercita-cita mengabdikan diri pada masyarakat. Ia jenuh melihat kondisi masyarakat di desanya yang serba terbelakang.

            Apa lacur? Cita-cita tinggallah cita-cita. Realita berbicara lain. Seorang Kepala Desa memang pemimpin masyarakat di desanya. Namun, ada yang terlupakan olehnya bahwa di negara ini Kepala Desa hanyalah kaki tangan penguasa di atasnya. Beberapa tingkatan malah. Yang terjadi bukannya ia mengabdi kepada rakyatnya tetapi justru ia harus memaksa rakyatnya untuk memenuhi segala keinginan para penguasa di atasnya. Ironis!

Dalkijo: Si Orang Kaya Baru (OKB)
            Kakak angkatan Kabul semasa kuliah di Fakultas Teknik ini merupakan Bos di proyek tempat Kabul bekerja. Kemiskinan yang dideritanya secara turun temurun menumbuhkan dendam di hatinya. Ia raup dari mana pun pundi-pundi harta dapat ia kumpulkan. Ia jemu dengan kemiskinan. Ia buktikan bahwa kemiskinan telah terputus dari kehidupannya dan keluarganya. Ia balaskan dendamnya itu. Entah kepada siapa! Satu kalimat yang ia sampaikan di depan Kabul membuktikan betapa pragmatisnya dia: “Pijaklah bumi dan lihatlah sekeliling”. (halaman 27)

Wati: Refleksi Perempuan Indonesia Modern?
            Gadis ini merupakan penulis kantor proyek Kabul. Anak salah seorang anggota DPRD. Di usianya yang kedua puluh tiga ia gamang dengan statusnya. Kekasihnya belum juga menikahinya. Hingga datang Kabul dalam hidupnya.

            Insinyur muda bujangan itu menarik hatinya. Sebagai perempuan ia tak sungkan untuk menunjukkan rasa sukanya pada lelaki itu. Sebagian usahanya terkesan ofensif. Seorang Kabul yang awalnya mengabaikan kehadirannya pun akhirnya jatuh dalam daya magnitnya.

Mak Sumeh: Sang Mak Comblang
            Wanita pemilik beberapa warung Tegal ini berperan besar dalam kehidupan asmara Kabul. Ia yang menjadi tempat Wati mencurahkan hatinya. Wanita yang sangat bangga dengan pengalamannya sebagai perempuan. Kalau diperhatikan, sebenarnya Mak Sumeh ini juga salah satu korban pembangunan yang lebih mengedepankan fisik semata. Sikapnya permisif sekali. Tak terkecuali terhadap hal-hal yang sebelumnya dianggap tabu.

Biyung: Perempuan Perkasa dari Desa

            Orang tua perempuan Kabul ini memberikan kontribusi yang besar dalam terbentuknya seorang Kabul yang idealis. Kemiskinan yang dialami membuatnya menjadi ibu sekaligus guru kehidupan bagi anak-anaknya. Kebersahajaan yang ia tanamkan kepada mereka berbuah dengan keberhasilan ketiga anaknya dalam menyelesaikan perkuliahan. Sebuah kemenangan yang diperoleh dengan perjuangan yang sangat panjang.

            Meskipun beberapa tokoh perempuan yang dihadirkan kurang bersentuhan dengan idealisme, tetapi kehadiran tokoh ini setidaknya menghapus kesan bahwa pria penulis novel Indonesia cenderung patriarkat. Seorang ibu tetap sangat berperan dalam perkembangan kejiwaan sang anak sejak kecil hingga dewasa kelak.

Kang Martasatang: Korban Pembangunan
            Tak bisa dimungkiri bahwa setiap pembangunan membutuhkan pengorbanan. Pengorbanan sudah dapat dipastikan harus berasal dari masyarakat golongan bawah. Kang Martasatang berprofesi sebagai penyeberang sungai. Bermodalkan rakit sederhana ia memanfaatkan rusaknya jembatan di Sungai Cibawor. Namun, adanya pembangunan jembatan membuatnya harus melepaskan pekerjaannya itu. Entah apa yang kemudian akan dijadikannya sebagai pekerjaan. Yang jelas bukan hanya para penguasa yang tidak peduli pada nasibnya. Masyarakat lainnya yang merasa diuntungkan dengan kehadiran jembatan tersebut pun pastinya beranggapan bahwa apa yang dialami Kang Martasatang adalah memang sudah seharusnya.

Wircumplung: Warisan Nenek Moyang yang Bernama Takhayul

        Dialah yang menghasut Kang Martasatang untuk meminta pembongkaran pembangunan jembatan. Hilangnya Sawin, anak Kang Martasatang yang bekerja sebagai kuli di proyek jembatan, ia jadikan sebagai sekam yang mudah terbakar. Apinya adalah kepercayaan mereka terhadap hal-hal yang masih berbau takhayul. Ia meyakinkan Kang Martasatang bahwa Sawin hilang karena sudah dikorbankan sebagai tumbal proyek tersebut. Warisan berupa animisme yang belum juga tergilas oleh roda pembangunan.

Daripan alias Tante Ana: Aktualisasi Seorang Kaum Marginal
            Rasanya bukan hanya media televisi yang menjadikan kaum waria sebagai objek hiburan. Dalam kehidupan nyata masyarakat kita pun memperlakukannya demikian. Jika disebut kaum marginal yang satu ini yang terlintas di benak kita pasti kelucuan, kekonyolan, kegenitan, dan kata-kata lain yang berkonotasi kurang menyenangkan. Tanpa masyarakat ketahui bagaimana perasaan sang objek.

        Daripan, sang waria hadir sebagai salah satu tokoh penghibur di novel ini. Kehadirannya ditunggu-tunggu para pekerja proyek yang telah lelah bekerja. Ia tak mengharapkan imbalan berlebihan kecuali pengakuan, bahwa di dalam tubuh lelakinya ia adalah seorang perempuan. Sayang, Ahmad Tohari kurang mengekspos psikologis tokoh ini. Sehingga yang muncul adalah kesan bahwa waria sudah cukup bahagia hanya dengan dielu-elukan, diberikan tepuk tangan, dijadikan objek hiburan.

Bejo: Wajah Buram Generasi Muda
            Sosok remaja desa yang multikrisis. Kehilangan masa muda, masa belajar, hanya untuk menyambung hidup sebagai kuli proyek. Ia rela menjadi ‘pembahagia’ Daripan alias Tante Ana. Ia adalah orang yang paling antusias dengan kehadiran waria itu. Apakah ia mengalami krisis orientasi seksual sehingga mau menjadi ‘sasaran’ Tante Ana? Rasanya ketika kita mengaitkannya dengan masalah ekonomi tidaklah salah. Mungkin ia tidak percaya diri dengan keadaannya untuk mencari pasangan perempuan. Sehingga kehadiran Tante Ana dapat dianggap sebagai manifestasi dari tak ada rotan akar pun jadi.

Wiyoso-Aminah: Sepenggal Roman Picisan
            Kalau mau dikatakan tokoh yang tidak penting kehadirannya dalam novel ini adalah pasangan ini. Meskipun awal kemunculan mereka secara individu, tetapi akhirnya mereka dijadikan pasangan. Wiyoso alias Yos sebenarnya pacar Wati. Namun, karena masih kuliah ia menunda pernikahannya dengan Wati. Ketika Wati memutuskan hubungan mereka ia bertemu Aminah, adik perempuan Kabul. Mereka ternyata kuliah di kota yang sama, Yogya.

            Sosok Yos yang hanya seorang mahasiswa belum lulus masih sangat labil. Sepertinya terlalu mudah bagi seorang Kabul, insinyur muda penuh idealisme, dalam ‘mengalahkannya’ merebut hati wanita. Meskipun cinta di novel ini hanya sebagai bumbu, tetapi kehadirannya pasti lebih ditunggu oleh pembaca. Ingat kasus film Titanic? Jadi, jangan tanggung-tanggung, hadirkan Yos sebagai sosok yang lebih berbobot. Sehingga konflik yang diderita Sang Idealis semakin rumit. Adapun tokoh Aminah, kehadirannya sangat tidak jelas. Gadis berkerudung yang menyaksikan perbuatan lepas kendali Yos di kantor Kabul saat menghardik Wati, sebegitu gampangnya menjadi kekasih Yos, mantan pesaing kakaknya. Kerudung yang ia pakai seolah tak berarti apa-apa.

Beberapa Pertanyaan
            Ada sebuah pertanyaan tentang kematangan idealisme Kabul, Basar, dan Pak Tarya. Apakah sangat sulit bagi seorang mantan aktivis dan wartawan untuk membedakan antara pejuang penegakan syariah dengan Islam kemasan? Di masa rezim Orde Baru justru para pejuang penegak syariah ini diintimidasi. Parahnya para penguasa menghantam mereka dengan “Islam” juga. (Islam kemasan yang terwakili oleh tokoh Baldun di halaman 137-142). Akhirnya banyak masyarakat yang menjadi antipati terhadap sesuatu yang berbau Islam. Mungkin termasuk Kabul, Basar, dan Pak Tarya?

            Pertanyaan terakhir terkait dengan penggunaan nama partai. Mengapa harus fiktif? Rasanya kita semua sudah mahfum partai yang dimaksud tanpa harus disebutkan. Jangan sampai generasi kita berikutnya bertanya-tanya, “Memangnya ada Partai Golongan Lestari Menang pada masa Orde Baru di Indonesia, negara terkorup di Asia yang memiliki ideologi Pancasila, pertahanan ABRI, dan penataran P4?”

Akhirnya
            Ada ketidakpuasan mengetahui akhir cerita ini. Sang Idealis yang terpaksa keluar dari lingkaran pragmatis, tetapi mendapatkan kebahagiaan pengganti dengan mudah. Cinta Kabul kepada Wati tidaklah menghadapi hambatan yang berarti. Ke mana ancaman orang partai terhadap Kabul? Bukankah partai tersebut dikenal tidak memiliki belas kasihan? Padahal banyak orang enggan bertahan dalam idealismenya ketika tahu betapa mahal harga yang harus dibayarkan untuk sebuah idealisme.

            Namun, terlepas dari sedikit ketidakpuasan tersebut, novel ini masih sangat relevan untuk masyarakat Indonesia saat ini. Kondisi yang dipaparkan sangat bersentuhan dengan masyarakat sekarang. Bahkan, cerita ini akan tetap relevan hingga kapan pun, termasuk ketika idealisme tetap menjadi barang langka di dada manusia Indonesia.

Jakarta, 25 Mei 2008

diunggah ulang Kamis, 25 Mei 2023

Ulasan ini diikutsertakan dalam Lomba Mengulas Karya Sastra 2008 Program Reguler yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional.

Si Buta dari Dunia Fantasi

 


"Si Buta dari Dunia Fantasi"

Dengan tegap lenggang terus melangkah
Sebersit angkuh muncul secercah
Berharap semua mata terpanah
Berdecak harap penuh gairah

Ternyata salah!
dan kalah!
Matanya terpanah
Sebuah jiwa lemah...

Menoleh kanan kiri mencari
Adakah obat penyembuh diri
Satu pemandu yang diberi
hancur lebur tak terperi

Untung ada yang menolong
Hingga tiada sempat melolong
"Oh, mata ini membuta..."
dipenuhi fantasi yang fana

Jakarta, 5 Mei 1999-2022