Mereka Bilang Saya Teroris

 


"Mereka Bilang Saya Teroris"


        Sebuah sel sempit. Hanya ada sekotak kecil jendela yang mengalirkan terbatas oksigen ke dalamnya. Udara pengap berbaur dengan aroma pesing dan busuk. Seorang tahanan tua duduk bersila. Bibirnya tak henti bergumam. Jemari tangannya yang kaku dan keriput menandai jumlah lafaz yang ia lantunkan. Zikir.

'Brakkk!'

Tiba-tiba terdengar suara pintu membuka. Sang tahanan tua melihat tubuh muda yang didorong ke dalam selnya dengan kasar.

PENJAGA

         ”Kau bisa diskusikan ideologi sintingmu dengan lelaki tua itu! Ha... ha... ha...”

(Sang aparat tertawa mengejek sambil kembali menghempaskan pintu tahanan)

       Hening. Hanya terdengar deru nafas sang tahanan muda. Gumam sang tahanan tua telah terhenti.


TAHANAN TUA

 ”Assalamu’alaikum...”

(Sang tahanan tua memulai pembicaraan. Namun, sang tahanan muda sepertinya belum bisa memulihkan jiwanya yang dalam keadaan tertekan. Ia hanya memandangi sang tahanan tua. Sang tahanan tua tersenyum. Ia memahami keadaan sang tahanan muda)

”Selamat datang, Anak Muda! Beginilah sel untuk kita. Tak ada sinar. Bahkan nyaris tanpa udara. Aroma busuk pun harus menjadi menu sehari-hari karena saluran air itu yang mengalirkan kotoran dari penghuni sel lainnya.”


(Sang tahanan muda mengikuti jari telunjuk sang tahanan tua. Sebuah saluran air dengan lebar sejengkal jemari dewasa dengan kedalaman hanya setengahnya)

TAHANAN MUDA

 ”Sudah berapa lama Bapak di sini?”


(Akhirnya terdengar juga suara sang tahanan muda)


TAHANAN TUA


         ”Aku tidak tahu pasti berapa lama aku di sini. Tanggal dan tahun berapakah sekarang ini?”


(Sang tahanan muda berpikir sejenak. Ia mencoba mengingat-ingat)

TAHANAN MUDA


         ”Seharusnya sekarang tanggal 20 September 2018...”


TAHANAN TUA


         ”Ah... sudah delapan tahun sepertinya. Aku ditangkap sebulan setelah di kampungku usai menyambut kemerdekaan negeri ini. Aku merasa sudah sangat lama di sini. Kurasakan tubuhku sudah lekas menua. Pandanganku semakin kabur. Bukan saja karena aku tidak pernah mendapat cahaya. Pukulan dan siksaan sudah menjadi santapan rutinku di sel ini. Setiap pertanyaan yang mereka ajukan selalu terjawab salah sehingga berhadiah bogem mentah.”


(Sang tahanan muda baru menyadari bahwa lelaki tua di hadapannya sudah tidak memiliki pandangan yang sempurna. Tubuhnya ringkih seolah tinggal tulang berbalut kulit. Bilur-bilur hitam bekas siksaan menanda di berbagai bagian tubuhnya)


         ”Mengapa kau sampai di sini, Anak Muda?”


TAHANAN MUDA


         ”Mereka bilang saya teroris, Pak...”


TAHANAN TUA


         ”Apakah kau memang seperti yang mereka tuduhkan?”


(Sang tahanan tua bertanya tanpa bermaksud meyelidik)


TAHANAN MUDA


         ”Ya!”

(Sang tahanan tua terkejut. Ia merasakan ada hentakan dalam jawaban sang tahanan muda)


TAHANAN TUA


         ”Mengapa kau melakukannya?”


TAHANAN MUDA


         ”Saya mendendam, Pak. Ayah saya ditangkap dan diberitakan sebagai teroris. Padahal ia hanya seorang guru mengaji. Saya adalah anak sekaligus muridnya. Saya tahu pasti bahwa ayah saya bukan teroris!”


TAHANAN TUA


         ”Lalu mengapa sekarang kau justru menjadi teroris?”


TAHANAN MUDA


         ”Menjadi apa pun asal dapat membalaskan dendam saya akan saya lakukan. Saya seorang teroris bagi mereka yang sudah menghancurkan keluarga saya. Selama ini tak ada ruang bagi kami untuk membela diri. Ayah menghilang diiringi fitnahan sebagai teroris. Ibu kesulitan mendapatkan pekerjaan karena statusnya sebagai ’istri teroris’. Kami hidup dalam cibiran dan lirikan kecurigaan. Mereka bukan saja menculik ayah. Mereka telah merenggut hidup dan masa depan keluarga kami!”


TAHANAN TUA


         ”Bagaimana keadaan ibumu sekarang?”


TAHANAN MUDA


         ”Ibu sakit-sakitan setelah itu. Tanpa pengobatan yang layak, ajal pun menjemputnya dua tahun yang lalu...”


(Suasana kembali hening. Ada yang mulai terjalin di ingatan sang tahanan tua. Tiba-tiba sang tahanan muda menyadari kalau sekarang adalah gilirannya untuk mengetahui siapa lelaki tua itu)


         ”Bapak sendiri, mengapa bisa berada di sini?”


TAHANAN TUA


         ”Aku tidak tahu. Aku dijemput orang-orang berpakaian seragam saat ingin menjalankan sholat Subuh di mushola dekat rumah. Kejadian itu tanpa sepengetahuan keluargaku. Sejak saat itu aku tak pernah bertemu istri dan anakku.”

TAHANAN MUDA


         ”Bapak tinggal di mana?”


(Ada yang mulai mengusik isi dada sang tahanan muda)


TAHANAN TUA


         ”Di Desa Tanjung Katung.”


TAHANAN MUDA


         ”Apakah Bapak bernama Ismail Ghozali?”


TAHANAN TUA


         ”Ya, namaku Ismail Ghozali.”


(Sang tahanan muda serta-merta menghambur dan memeluk sang tahanan tua)

TAHANAN MUDA


         ”Ayah! Aku Harun Ismail, anakmu!”


TAHANAN TUA


         ”Harun...”

(Sang tahanan tua balas memeluk sang tahanan muda. Mereka menangis dan tertawa bersamaan. Ada kegetiran ketika menyadari bahwa mereka harus berjumpa di tempat seperti ini. Ada kebahagiaan saat mengetahui bahwa Sang Maha Pengasih mempersatukan mereka setelah sewindu menanggung rindu)

SELESAI


Jakarta, 12 Maret 2011-31 Desember 2023

Pusara

 


Tadi siang banyak yang dikubur
satu... dua... dan tiga
Hmmm...
Mungkin lebih dari itu
Bauran bunga dan tanah basah menghembus tajam
menandakannya

Aku terpekur menatap nanap...
Julangan pusara yang tertancap
bangkitkanku dari tidur yang lelap
Aku terkesiap
Betapa waktu yang lindap
melenakanku dalam jutaan harap

Kembali mata ini menanap
ke barisan pusara yang menjulang
Satu di antaranya, kusimpuhi
Dalam nisan tergores sebuah nama
orang yang seharusnya kukasihi
tapi telah pergi

Aku jadi ingat...
Harusnya banyak pusara yang menghujat
Bukan hanya pusara itu
yang memiliki rasa rindu
padaku
pada doaku

Dengan saat yang singkat
kuhendak tinggalkan barisan pusara
Kembali kuhitung yang mau dikubur
satu... dua... dan...
Hmmm...
Hilang satu

Kucari jejak yang menanda
tapi tiada....

ditulis di Jakarta, 25 November 1997

Jakarta, Senin, 26 November 2023

Hidup adalah Cerita

 


"Hidup adalah Cerita"


Beruntun cerita bahagia mengalir
hingga diri lupa segala
hidup bukan hanya tertawa
mesti ada luka yang mengukir

            setelah cinta
            disusul senyum bahagia
            semua menduga
            'kan berakhir cerita

nyatanya salah
benar-benar salah
karena cerita belum berakhir

            harus ada luka
            kalau ada suka
            karena hidup adalah cerita

Jakarta, 22 Oktober 2000-2023

Hitampun Memutih

 


sajak buat Bapak

Tatkala harus Kau lalui lembar-lembar hitam
tiada pernah terlintas olehmu untuk menggantikannya
dengan yang putih

Terasa apa yang Kau jalani
akan semakin hitam
dan mengelam

Ketika Kau dapati dirinya yang terluka
fitrahmu tergugah untuk mengobatinya
menjadikannya lebih berarti
walau harus Kau hadapi banyak duri yang menanti

Meski tiada lama Kau menemani
Kau ikhlaskan kepergiannya
menuju alam bahagia
yang sejati

Tegarmu sebagai laki-laki
membuatmu tiada pernah berpaling
biar hasrat terus menyusup
Kau tepis penuh adab

Hingga Kau menyusulnya
menuju alam kebahagiaan
setelah Kau torehkan tinta emas kebajikan
dalam sisa lembar hidupmu yang putih.


"Allahumaghfirlahu..."


Jakarta, 21 September 1995-2023

Ketika Mimpi Indah Ayah Menjadi Mimpi Buruk Anak

 


Ketika Mimpi Indah Ayah

Menjadi Mimpi Buruk Anak

 

Judul Film : Swimming Upstream
Sutradara : Russel Mulcahy
Pemain : Jesse Spencer, Geoffrey Rush, Judy Davis, Tim Draxl
Jenis Film : Drama
Kategori : Dewasa

Tahun : 2003


          Anthony Fingleton merupakan anak kedua dari pasangan Harold dan Dora. Harold Jr adalah kakaknya yang selalu menyakitinya, mulai dari fisik hingga psikis. Parahnya, tindakan ini justru didukung oleh sang ayah. John adalah adiknya yang paling dekat secara emosional saat itu. Ronald anak lelaki keempat dan si bungsu sekaligus putri satu-satunya dari keluarga yang hobi berenang ini, Diane.

Kedekatan Tony dan John yang semula rapat berubah secara perlahan. Lagi-lagi sang ayah yang menjadi penyebabnya. Tony dan John yang semula memiliki spesialisasi gaya yang berbeda dalam renang terpaksa berkompetisi dalam satu kolam. Mereka berlatih secara mandiri. Namun, secara diam-diam sang ayah justru melatih John. Hasilnya; John menjadi juara.

Tony merasa sakit hati. Bukan karena kekalahannya, tetapi lebih disebabkan oleh John yang mengambil gaya punggung atas permintaan ayahnya. Apalagi sang ayah ternyata lebih berharap kemenangan untuk John.

Konflik demi konflik terus bergulir. Antara ayah dengan ibu. Antara ayah dengan anak-anaknya, khususnya Tony. Juga antara Tony dengan John.

Swimming Upstream, sebuah film drama keluarga yang diangkat dari kisah nyata Anthony Fingleton sangat memikat. Sebuah gambaran sosok ayah yang kecewa dengan masa lalunya dan mencoba menggapainya melalui anak-anaknya. Kekecewaannya di masa kanak-kanak coba ia tebus dengan memaksa anak-anaknya untuk berprestasi, khususnya di bidang olah raga. Tema yang sangat menyentuh tentang hubungan antaranggota keluarga. Sangat realistis karena diambil dari kisah nyata.

Sayangnya, hingga film berakhir penulis tidak berhasil menangkap dengan jelas alasan mengapa sang ayah begitu membenci Tony. Padahal terhadap Harold Jr. dan John ia sangat berharap. Apakah kecenderungan Tony pada seni (musik)? Akhir cerita juga ’mengenaskan’. Tony dan tiga saudaranya menjadi sosok yang berhasil tetapi John, yang sebenarnya menjadi tumbal sang ayah, justru harus merasakan penderitaan. Apalagi hubungan antara Tony dengan John masih menegang. Nah, barangkali jika Anda sudah menontonnya, Anda akan mampu menangkapnya?

***

Diunggah ulang pada Ahad, 20 Agustus 2023

Malam yang Mencekam

  

"Malam yang Mencekam"


Sebenarnya hal ini bukan kali pertama yang ia alami. Ia harus di rumah seorang diri. Ayah dan ibunya sejak sore pergi menghadiri sebuah resepsi pernikahan seorang kerabat. Mereka baru akan kembali sekitar pukul sepuluh malam nanti. Kedua orang kakaknya pun pergi sejak sore. Kakaknya yang laki-laki pergi ke rumah teman wanitanya. Adapun kakak perempuannya pergi ke rumah temannya untuk mengerjakan tugas perkuliahannya. Ia sudah berpesan akan menginap.


Untuk menghilangkan rasa sepi ia mencoba menonton televisi. Dari beberapa acara yang ditayangkan berbagai stasiun televisi, tidak ada satu pun yang menarik baginya. Stasiun yang pertama menyajikan berita tentang bisnis dan perekonomian yang tidak sesuai dengan jiwa remajanya. Beberapa stasiun lainnya menampilkan sinetron-sinetron yang sangat membosankan. Jalan cerita yang nyaris sama dengan perputaran yang tak tentu arah. Selebihnya masih saja menayangkan film Barat maupun Mandarin untuk ke sekian kalinya. Ia bahkan sudah hafal jalan ceritanya.

Ia beralih ke radio. Semakin kesal hatinya mendengarkan obrolan para penyiar radio. Ia putar koleksi CD musiknya. Agak terhibur meskipun sedikit. Tiba-tiba pandangannya tertumbuk pada sebuah novel yang tergeletak di atas koleksi kaset kakaknya yang laki-laki. Malam yang Mencekam judulnya.

Novel itu menceritakan pembunuhan yang dilakukan seorang pemuda berandal kepada seorang gadis remaja yang kebetulan sedang seorang diri di rumahnya. Kedua orang tuanya pergi menghadiri resepsi pernikahan seorang kerabat mereka. Ketika kembali sekitar pukul sepuluh malam, mereka mendapati anak gadisnya tergolek di atas sofa. Di lehernya tergambar bekas cekikan. Pakaiannya yang koyak menunjukkan apa yang menyebabkan di kedua selangkangannya mengalir darah.

Tidak sampai satu jam novel itu selesai dibacanya. Ia merasa tidak puas dengan jalan cerita novel tersebut. Menurutnya, gadis remaja itu terlalu bodoh sehingga tidak bisa membedakan suara kakak laki-lakinya yang baru pulang dari rumah teman wanitanya dengan suara berandalan yang akan memperkosa dan membunuhnya. Begitu juga dengan cara pemuda berandal itu masuk ke rumahnya. Naif sekali membukakan pintu dan membiarkannya terbuka tanpa melihat siapa yang mengetuk pintu tersebut.

“Oahem…” Ia menjadi mengantuk. Ia tetap merebahkan dirinya di atas sofa dan membiarkan novel tadi tergeletak di sampingnya. Tak ada niat untuk mengembalikannya ke tempat semula.

Sesaat kemudian ia mendengar sayup-sayup suara ketukan di pintu. Dengan langkah malas dan perasaan kesal ia menuju pintu.

“Kebiasaan! Setiap malam pacaran terus,” makinya dalam hati.

“Heh, cepat buka pintunya!” terdengar teriakan dari luar yang semakin membuatnya kesal. Ia pun langsung membuka kunci pintu dan tanpa membuka daun pintu ia sudah berbalik hendak menuju kamarnya.

Ia terus melangkah dan menduga tidak lama lagi kakaknya akan mengejeknya sebagai si tukang tidur. Namun, ia sudah siap membalas ejekan itu. Ia menunggu beberapa detik. Heran, kakaknya tidak bersuara lagi. Ia pun menoleh. Betapa terkejut dirinya memandang apa yang dilihatnya.

Daun pintu rumahnya telah terbuka. Namun, lelaki yang berada di hadapannya bukan kakaknya. Bahkan, ia tak mengenalinya sama sekali. Ia sadar dirinya dalam bahaya. Ia ingin berteriak. Tidak ada suara yang didengarnya. Ia justru merasakan tangan kekar lelaki yang tak dikenalnya itu sudah menekan erat nadi lehernya. Saking eratnya, membuat dirinya tak lagi bernafas.

THE END

diunggah kembali 30 Juli 2023

Aneka Anekdot


"Lupa! Lupa... Lupa... Lupa..."

Saya punya beberapa akun Gmail. Passwordnya beda-beda. Supaya tidak lupa, kemarin saya tulis di sebuah buku. Permasalahannya sekarang, di buku yang mana? Saya lupa...
😂
*Subhanallah...
Jakarta, 28 Juni 2021

"Buku Tabungan"

Beberapa waktu lalu ke Bank DKI untuk aktivasi Jakone.
"Bawa buku tabungannya, Pak?" tanya petugas bank dengan ramah.
"Bawa." Dengan percaya diri saya serahkan buku tabungan yang saya bawa.
"Ini buku tabungan BNI, Pak." ucapan petugas bank membuatku terkejut.
"Astaghfirullah..."
😣

"Salah Kartu"

Kemarin dari Menara Samawa naik Mini Trans. Aku membayar ongkos dengan menempelkan kartu Jak Lingko.
'Cricit... Cricit...' Error. Kartu tidak terbaca.
"Tangan jangan menempel, Pak." kata Pak Sopir. Ok, aku harus lebih berhati-hati.
'Cricit... Cricit...' Masih belum bisa.
"Tunggu agak lama. Baru tempel lagi." Sambil menunggu kuperhatikan kartu di tanganku. Waduh, ini kartu akses lift BUKAN kartu Jak Lingko!
"Maaf, Pak. Salah kartu."
😥
*Subhanallah...


"Paket Internet"

Hari ini paket internet Simpati-ku habis. Aku mengisi paket internet via Tokopedia. Sudah. Tapi kok, belum bisa online juga, ya?
Ya, Salaam... Yang aku isi nomor kartu XL-ku!
🤣
*Jadi, hikmah dari cerita di atas adalah...
Jakarta, 12 Maret 2021


"Rezeki Nomplok"
Sesampai di mulut gang sehabis membeli sarapan, tiba-tiba seperti ada yang menetes di antara leher dan pundak kiriku. Hangat. Kucolek, putih... Kutengadah ke atas. Sepasang burung gereja bercengkrama di seutas kabel. Ya, Allah... Bumi-Mu luas. Gang ini pun cukup lebar. Mengapa cairan itu harus jatuh di pundakku? Tidak di tempat lain.
Akh, inilah rezeki nomplok!
Aamiin.
Jakarta, 31 Maret 2021


"Vitamin C"

"Vitamin C-nya apa?" tanya dokter saat aku diperiksa terkait hipertensiku.
"Nutrisari" jawabku polos.
"Nutrisari itu apa?" pertanyaan sang dokter membuatku terkejut.
😨
*Jangan-jangan nggak recommended...
Jakarta, 24 Maret 2021


"Keringat Dingin"

Lampu teras mati. Dengan meminjam tangga pemilik rumah kontrakan aku mencoba menggantinya dengan yang baru. Heran, kenapa tangganya bergetar. Keringatpun mengucur deras. Saking derasnya, keringat yang keluar lebih deras saat ganti lampu dengan naik tangga aluminium daripada jalan sore setengah jam.
😅
*Kok, bisa gitu, ya...?
Jakarta, 19 Maret 2021


Harakiri

 


Untuk Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Baru kini kutahu pasti
Mengapa UN menjegal belasan anak kami
Ternyata mereka memang layak untuk itu

Dari mana kutahu?
Baru lima belas menit soal dibagi
Mereka sudah terbengong-bengong menanti-nanti!
Apa yang mereka nanti?

Ho… ho… baru kini kutahu pasti
Mereka menanti guru mereka yang telah berjanji mengumbar kunci
Guru mereka yang merasa bak pahlawan seperti Panji

Baru kini kutahu pasti
Mengapa UN menjegal belasan anak kami

Ternyata guru mereka juga masih perlu diuji
Sebab kunci yang mereka beri masih harus direvisi
Lima puluh nomor yang sudah dibulatkan
Lima puluh nomor yang harus diperbaiki

Wahai Guru!
Jangan pernah merasa menjadi pahlawan tanpa tanda jasa
Jika muridmu masih kauracuni dengan kebodohanmu yang memalukan dan memilukan itu
Carilah sebilah pedang!
Tancapkan ke dadamu!
Itu masih lebih terhormat bagimu
Dibandingkan kauracuni berjuta anak bangsa dengan sikapmu yang berjuta tapi

dari sebuah ruang ujian Paket C
Jakarta, Kamis 25 Juni 2009

Ahad, 25 Juni 2023

Miniatur Orang Indonesia

  

"Miniatur Orang Indonesia"

Judul Buku : Orang-Orang Proyek
Penulis : Ahmad Tohari
Penerbit : Gramedia

(Sebuah Ulasan terhadap Orang-Orang Proyek karya Ahmad Tohari)

            Membaca novel berlatar waktu antara tahun 1991-1992 dengan setting sebuah desa di Pulau Jawa ini tidak ubahnya membaca kehidupan manusia Indonesia secara utuh. Sebagian besar masyarakat yang cenderung pragmatis, mengikuti arus kebanyakan. Mencoba realistis, dalih mereka. Adapun mereka yang tetap mengusung idealisme sangatlah sedikit. Dari yang sedikit ini pun banyak yang masih terlihat gamang dengan sikap yang mereka ambil.

            Ahmad Tohari memotret kegamangan tersebut. Betapa tidak sedikit mereka yang sebelumnya pengusung bendera idealisme berubah menjadi pengabdi pragmatisme. Atau paling tidak, terseret arusnya yang memang mahadahsyat. Bukan berita baru bahwa seorang mahasiswa mantan aktivis langsung berubah seratus delapan puluh derajat menjadi manusia pasivis saat ia berada dalam lingkaran kekuasaan.

            Beragam argumentasi lalu muncul untuk pembenaran fenomena tersebut. Dominasi orang-orang yang pro-status quo dianggap masih terlalu menggurita. Mustahil bagi si bayi reformis menaklukkannya. Keadaan yang ternyata terlihat sangat berbeda ketika dipandang dari sudut pandang yang berbeda pula. Menjadi pemimpin tidaklah semudah menjadi orang yang dipimpin. Menjadi penulis pun tidaklah semudah menjadi seorang pembaca. Ya, menjadi pemain memang tidaklah semudah menjadi seorang penonton!

            Tak jarang kritikan yang diberikan pada mereka berubah menjadi bumerang. Para pengritik ini pun akan balas dituduh sebagai orang yang iri hati, barisan orang sakit hati, ataupun penderita post power syndrome. Tidak sepenuhnya benar tuduhan tersebut. Namun, itu juga berarti tidak sepenuhnya salah.

            Melalui novel Orang-Orang Proyek Ahmad Tohari mengungkap realitas tersebut. Tokoh-tokoh seperti Kabul, Pak Tarya, Basar, Dalkijo, dan yang lainnya ia munculkan sebagai pantulan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Dan, berbicara tentang orang-orang proyek berarti kita juga berbicara tentang orang-orang Indonesia dari segala profesi: insinyur, politisi, dokter, pegawai negeri, kepala desa, mahasiswa, guru dan lainnya.

Kabul: Sebuah Pertarungan antara Idealisme dengan Pragmatisme
            Insinyur muda ini merupakan tokoh sentral dalam cerita. Alumnus sebuah Fakultas Teknik ini termasuk aktivis yang idealis. Masa perkuliahannya diwarnai dengan bermacam kegiatan demonstrasi dan diskusi. Sayang, perjuangannya tidak berlangsung mulus. Karena faktor ekonomi, ia lebih cenderung bekerja untuk menghidupi ibu dan kedua adiknya daripada melanjutkan dua aktivitas tersebut. Namun, idealisme yang ia miliki tidak berubah.

            Setelah beberapa kali menjadi pelaksana proyek pembangunan, ia dihadapkan pada kenyataan pahit. Idealismenya berbenturan dengan pragmatisme bosnya, yang juga kakak angkatannya semasa kuliah. Perihnya lagi, ia juga harus menyaksikan sendiri bagaimana polah tingkah mereka dalam menguras harta negara yang notabene juga harta rakyat. Semua berlangsung di depan mata. Berbagai usahanya untuk menyadarkan oknum-oknum tersebut menemui jalan buntu. Ia terpaksa memilih, tetap berada di lingkaran tersebut dengan konsekwensi kerap mengelus dada atau keluar dari sana dengan risiko yang tidak minimal.

Pak Tarya: Setelah Lengser Keprabon …
            Si Ahli Pemancing yang mahir meniup seruling ini merupakan pensiunan pegawai Kantor Penerangan. Mantan wartawan juga, katanya. Ayahnya mati dibunuh para patriot muda di desanya. Hebatnya, ia mampu menghapus dendamnya pada pembunuh ayahnya.

            Di usia tuanya ia menjadi manusia yang sangat arif. Ia yang memang sejak kecil dibesarkan di suasana pedesaan sangat karib dengan alam. Ia tetap menjadi orang yang nrimo. Bukan saja menerima kenyataan bahwa sebagai pensiunan pegawai ia tidak dapat hidup lebih dari cukup untuk isteri dan kedua anaknya, tetapi juga menerima dengan senyuman untuk impotensi yang dideritanya.

Basar: Realitas Mantan Aktivis dalam Pemerintahan
      Sahabat Kabul ini seorang Kepala Desa di tempat Kabul menjalankan proyek terakhirnya. Mantan mahasiswa Fakultas Sospol yang juga aktivis ini bercita-cita mengabdikan diri pada masyarakat. Ia jenuh melihat kondisi masyarakat di desanya yang serba terbelakang.

            Apa lacur? Cita-cita tinggallah cita-cita. Realita berbicara lain. Seorang Kepala Desa memang pemimpin masyarakat di desanya. Namun, ada yang terlupakan olehnya bahwa di negara ini Kepala Desa hanyalah kaki tangan penguasa di atasnya. Beberapa tingkatan malah. Yang terjadi bukannya ia mengabdi kepada rakyatnya tetapi justru ia harus memaksa rakyatnya untuk memenuhi segala keinginan para penguasa di atasnya. Ironis!

Dalkijo: Si Orang Kaya Baru (OKB)
            Kakak angkatan Kabul semasa kuliah di Fakultas Teknik ini merupakan Bos di proyek tempat Kabul bekerja. Kemiskinan yang dideritanya secara turun temurun menumbuhkan dendam di hatinya. Ia raup dari mana pun pundi-pundi harta dapat ia kumpulkan. Ia jemu dengan kemiskinan. Ia buktikan bahwa kemiskinan telah terputus dari kehidupannya dan keluarganya. Ia balaskan dendamnya itu. Entah kepada siapa! Satu kalimat yang ia sampaikan di depan Kabul membuktikan betapa pragmatisnya dia: “Pijaklah bumi dan lihatlah sekeliling”. (halaman 27)

Wati: Refleksi Perempuan Indonesia Modern?
            Gadis ini merupakan penulis kantor proyek Kabul. Anak salah seorang anggota DPRD. Di usianya yang kedua puluh tiga ia gamang dengan statusnya. Kekasihnya belum juga menikahinya. Hingga datang Kabul dalam hidupnya.

            Insinyur muda bujangan itu menarik hatinya. Sebagai perempuan ia tak sungkan untuk menunjukkan rasa sukanya pada lelaki itu. Sebagian usahanya terkesan ofensif. Seorang Kabul yang awalnya mengabaikan kehadirannya pun akhirnya jatuh dalam daya magnitnya.

Mak Sumeh: Sang Mak Comblang
            Wanita pemilik beberapa warung Tegal ini berperan besar dalam kehidupan asmara Kabul. Ia yang menjadi tempat Wati mencurahkan hatinya. Wanita yang sangat bangga dengan pengalamannya sebagai perempuan. Kalau diperhatikan, sebenarnya Mak Sumeh ini juga salah satu korban pembangunan yang lebih mengedepankan fisik semata. Sikapnya permisif sekali. Tak terkecuali terhadap hal-hal yang sebelumnya dianggap tabu.

Biyung: Perempuan Perkasa dari Desa

            Orang tua perempuan Kabul ini memberikan kontribusi yang besar dalam terbentuknya seorang Kabul yang idealis. Kemiskinan yang dialami membuatnya menjadi ibu sekaligus guru kehidupan bagi anak-anaknya. Kebersahajaan yang ia tanamkan kepada mereka berbuah dengan keberhasilan ketiga anaknya dalam menyelesaikan perkuliahan. Sebuah kemenangan yang diperoleh dengan perjuangan yang sangat panjang.

            Meskipun beberapa tokoh perempuan yang dihadirkan kurang bersentuhan dengan idealisme, tetapi kehadiran tokoh ini setidaknya menghapus kesan bahwa pria penulis novel Indonesia cenderung patriarkat. Seorang ibu tetap sangat berperan dalam perkembangan kejiwaan sang anak sejak kecil hingga dewasa kelak.

Kang Martasatang: Korban Pembangunan
            Tak bisa dimungkiri bahwa setiap pembangunan membutuhkan pengorbanan. Pengorbanan sudah dapat dipastikan harus berasal dari masyarakat golongan bawah. Kang Martasatang berprofesi sebagai penyeberang sungai. Bermodalkan rakit sederhana ia memanfaatkan rusaknya jembatan di Sungai Cibawor. Namun, adanya pembangunan jembatan membuatnya harus melepaskan pekerjaannya itu. Entah apa yang kemudian akan dijadikannya sebagai pekerjaan. Yang jelas bukan hanya para penguasa yang tidak peduli pada nasibnya. Masyarakat lainnya yang merasa diuntungkan dengan kehadiran jembatan tersebut pun pastinya beranggapan bahwa apa yang dialami Kang Martasatang adalah memang sudah seharusnya.

Wircumplung: Warisan Nenek Moyang yang Bernama Takhayul

        Dialah yang menghasut Kang Martasatang untuk meminta pembongkaran pembangunan jembatan. Hilangnya Sawin, anak Kang Martasatang yang bekerja sebagai kuli di proyek jembatan, ia jadikan sebagai sekam yang mudah terbakar. Apinya adalah kepercayaan mereka terhadap hal-hal yang masih berbau takhayul. Ia meyakinkan Kang Martasatang bahwa Sawin hilang karena sudah dikorbankan sebagai tumbal proyek tersebut. Warisan berupa animisme yang belum juga tergilas oleh roda pembangunan.

Daripan alias Tante Ana: Aktualisasi Seorang Kaum Marginal
            Rasanya bukan hanya media televisi yang menjadikan kaum waria sebagai objek hiburan. Dalam kehidupan nyata masyarakat kita pun memperlakukannya demikian. Jika disebut kaum marginal yang satu ini yang terlintas di benak kita pasti kelucuan, kekonyolan, kegenitan, dan kata-kata lain yang berkonotasi kurang menyenangkan. Tanpa masyarakat ketahui bagaimana perasaan sang objek.

        Daripan, sang waria hadir sebagai salah satu tokoh penghibur di novel ini. Kehadirannya ditunggu-tunggu para pekerja proyek yang telah lelah bekerja. Ia tak mengharapkan imbalan berlebihan kecuali pengakuan, bahwa di dalam tubuh lelakinya ia adalah seorang perempuan. Sayang, Ahmad Tohari kurang mengekspos psikologis tokoh ini. Sehingga yang muncul adalah kesan bahwa waria sudah cukup bahagia hanya dengan dielu-elukan, diberikan tepuk tangan, dijadikan objek hiburan.

Bejo: Wajah Buram Generasi Muda
            Sosok remaja desa yang multikrisis. Kehilangan masa muda, masa belajar, hanya untuk menyambung hidup sebagai kuli proyek. Ia rela menjadi ‘pembahagia’ Daripan alias Tante Ana. Ia adalah orang yang paling antusias dengan kehadiran waria itu. Apakah ia mengalami krisis orientasi seksual sehingga mau menjadi ‘sasaran’ Tante Ana? Rasanya ketika kita mengaitkannya dengan masalah ekonomi tidaklah salah. Mungkin ia tidak percaya diri dengan keadaannya untuk mencari pasangan perempuan. Sehingga kehadiran Tante Ana dapat dianggap sebagai manifestasi dari tak ada rotan akar pun jadi.

Wiyoso-Aminah: Sepenggal Roman Picisan
            Kalau mau dikatakan tokoh yang tidak penting kehadirannya dalam novel ini adalah pasangan ini. Meskipun awal kemunculan mereka secara individu, tetapi akhirnya mereka dijadikan pasangan. Wiyoso alias Yos sebenarnya pacar Wati. Namun, karena masih kuliah ia menunda pernikahannya dengan Wati. Ketika Wati memutuskan hubungan mereka ia bertemu Aminah, adik perempuan Kabul. Mereka ternyata kuliah di kota yang sama, Yogya.

            Sosok Yos yang hanya seorang mahasiswa belum lulus masih sangat labil. Sepertinya terlalu mudah bagi seorang Kabul, insinyur muda penuh idealisme, dalam ‘mengalahkannya’ merebut hati wanita. Meskipun cinta di novel ini hanya sebagai bumbu, tetapi kehadirannya pasti lebih ditunggu oleh pembaca. Ingat kasus film Titanic? Jadi, jangan tanggung-tanggung, hadirkan Yos sebagai sosok yang lebih berbobot. Sehingga konflik yang diderita Sang Idealis semakin rumit. Adapun tokoh Aminah, kehadirannya sangat tidak jelas. Gadis berkerudung yang menyaksikan perbuatan lepas kendali Yos di kantor Kabul saat menghardik Wati, sebegitu gampangnya menjadi kekasih Yos, mantan pesaing kakaknya. Kerudung yang ia pakai seolah tak berarti apa-apa.

Beberapa Pertanyaan
            Ada sebuah pertanyaan tentang kematangan idealisme Kabul, Basar, dan Pak Tarya. Apakah sangat sulit bagi seorang mantan aktivis dan wartawan untuk membedakan antara pejuang penegakan syariah dengan Islam kemasan? Di masa rezim Orde Baru justru para pejuang penegak syariah ini diintimidasi. Parahnya para penguasa menghantam mereka dengan “Islam” juga. (Islam kemasan yang terwakili oleh tokoh Baldun di halaman 137-142). Akhirnya banyak masyarakat yang menjadi antipati terhadap sesuatu yang berbau Islam. Mungkin termasuk Kabul, Basar, dan Pak Tarya?

            Pertanyaan terakhir terkait dengan penggunaan nama partai. Mengapa harus fiktif? Rasanya kita semua sudah mahfum partai yang dimaksud tanpa harus disebutkan. Jangan sampai generasi kita berikutnya bertanya-tanya, “Memangnya ada Partai Golongan Lestari Menang pada masa Orde Baru di Indonesia, negara terkorup di Asia yang memiliki ideologi Pancasila, pertahanan ABRI, dan penataran P4?”

Akhirnya
            Ada ketidakpuasan mengetahui akhir cerita ini. Sang Idealis yang terpaksa keluar dari lingkaran pragmatis, tetapi mendapatkan kebahagiaan pengganti dengan mudah. Cinta Kabul kepada Wati tidaklah menghadapi hambatan yang berarti. Ke mana ancaman orang partai terhadap Kabul? Bukankah partai tersebut dikenal tidak memiliki belas kasihan? Padahal banyak orang enggan bertahan dalam idealismenya ketika tahu betapa mahal harga yang harus dibayarkan untuk sebuah idealisme.

            Namun, terlepas dari sedikit ketidakpuasan tersebut, novel ini masih sangat relevan untuk masyarakat Indonesia saat ini. Kondisi yang dipaparkan sangat bersentuhan dengan masyarakat sekarang. Bahkan, cerita ini akan tetap relevan hingga kapan pun, termasuk ketika idealisme tetap menjadi barang langka di dada manusia Indonesia.

Jakarta, 25 Mei 2008

diunggah ulang Kamis, 25 Mei 2023

Ulasan ini diikutsertakan dalam Lomba Mengulas Karya Sastra 2008 Program Reguler yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional.

Si Buta dari Dunia Fantasi

 


"Si Buta dari Dunia Fantasi"

Dengan tegap lenggang terus melangkah
Sebersit angkuh muncul secercah
Berharap semua mata terpanah
Berdecak harap penuh gairah

Ternyata salah!
dan kalah!
Matanya terpanah
Sebuah jiwa lemah...

Menoleh kanan kiri mencari
Adakah obat penyembuh diri
Satu pemandu yang diberi
hancur lebur tak terperi

Untung ada yang menolong
Hingga tiada sempat melolong
"Oh, mata ini membuta..."
dipenuhi fantasi yang fana

Jakarta, 5 Mei 1999-2022

Sedang Sedih


 

Semua yang kulihat
Tampak begitu mengkilat
Menghujat ke dalam tatap
Sisakan tombak yang menancap
Hingga semburat darah bersemburan
Penuhi ruang wajah bercemburuan

Semua yang kudengar
Seolah begitu hingar
Memancar ke dalam bingar
Sisakan jerit yang terumbar
Hingga alunan suara bertiupan
Lingkupi ruang rungu bernyanyian

Semua yang kurasa
Bagaikan begitu luka
Merobek ke dalam sukma
Sisakan lara yang mendera
Hingga seutas duka bertemali
Naungi ruang jiwa berkali

Semua yang kuimpi
Ibarat begitu sunyi
Memberi ke dalam sepi
Sisakan melodi yang terhenti
Hingga sedawai kasih memerih
Tandai hati sedang sedih

Jakarta, 14 Februari 1999-2023

'Enaknya' Hidup di Jalan

 

Bukan hal yang asing ketika di perempatan maupun tepian jalan di berbagai kota kita akan menjumpai aktivitas mereka. Ada yang mengamen dengan hanya bermodalkan tepukan tangan. Ada yang menadahkan tangan seraya menunjukkan tampang mengiba. Ada yang berpura-pura membersihkan debu mobil dengan kemoceng yang bukan membuat bersih tetapi justru membuat goresan-goresan di bodi mobil. Ada juru parkir dadakan yang justru malah membuat macet. Ada pengasong yang keberadaannya seolah membantu para pengendara dari terkena dehidrasi dan mulut asem. Ada pelacur yang berjenis kelamin jelas maupun yang masih membingungkan. Ada penjahat yang mengintai di balik kelengahan para pengguna jalan.

Dampak keberadaan mereka sudah kita rasakan sendiri. Ketidakpatuhan mereka terhadap ketertiban jelas berkontribusi besar dalam merusak keindahan kota. Cara mereka memperoleh penghasilan sesungguhnya malah menurunkan harkat dan martabat manusia . Juga menambah kisruh lalu-lintas yang sudah memprihatinkan. Perilaku mereka bisa membahayakan nyawa sendiri maupun nyawa orang lain. Kehadiran mereka dapat menghilangkan rasa nyaman. Bahkan, tidak sedikit yang justru menimbulkan keresahan.

Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi keberadaan mereka. Kebanyakan menggunakan cara instan seperti memberi uang langsung atau makai ‘jasa’ mereka. Adapun proses penertiban dan pemberian pelatihan yang selama ini dilakukan dirasakan masih begitu mahal. Banyak biaya yang harus dikeluarkan. Banyak waktu yang dibutuhkan.

Penanganan dengan cara instan dan mahalnya penanganan proses membuahkan kegagalan . Mereka biasanya akan tetap di jalan. Mereka yang sudah terbiasa hidup bebas tidak mau diatur. Di jalan mereka tidak terikat jam kerja dan hari kerja, semaunya! Mereka tidak terbiasa dengan bekerja memeras keringat dan membanting tulang untuk menunjukkan harga diri. Mencuci pakaian orang lain belum tentu bisa menghasilkan satu juta dalam sebulan. Bekerja sebagai office boy (OB) atau cleaning service (CS) dengan penghasilan tidak sampai satu juta per bulan juga tidaklah ‘menarik’ bagi mereka. Apalagi jika harus menjadi penyapu jalan dengan upah hanya separo dari gaji seorang OB atau CS.

Bandingkan dengan ‘pekerjaan’ mereka di jalan. Seorang pengamen yang tidak perlu mencipta dan membayar royalti lagu bisa mendapat Rp. 40.000-Rp.60.000 per hari dengan ‘jam terbang’ pukul 10.00-20.00 (dengan waktu beristirahat semaunya tentunya). Seorang pak ogah bisa memperoleh Rp. 30.000-Rp. 50.000 dalam satu shift/giliran (Dalam satu hari bisa tiga shift/giliran, biasanya bertepatan dengan jam-jam macet). Seorang tukang parkir ilegal bahkan bisa mendapat Rp. 70.000 dalam satu hari dengan tidak perlu menyetorkan pada kas pemda*). Belum lagi pengemis yang sangat mahir dalam mengais simpati para dermawan jalanan atau penjaja seks yang ‘nyambi’ menjadi pemeras. Termasuk penjahat jalanan yang butuh uang sekaligus pelampiasan nafsu setan.

Nah, sekarang masih perlukah kita berempati terhadap mereka? Anda yang tentukan sendiri! Sekarang sudah begitu banyak tersedia tempat yang bisa menjadi ladang amal kita. Mulailah dari keluarga kita sendiri. Selanjutnya, kepada tetangga kita sendiri. Jika keduanya sudah dirasakan cukup alihkanlah kepada rumah ibadah, instansi, yayasan, atau badan yang Anda percayai untuk menyalurkan sebagian harta Anda. Bukankah di masa pertanggungjawaban nanti kita akan ditanya, “Dari mana hartamu kamu peroleh dan ke mana kamu membelanjakannya?”

*)Informasi nominal ini saya dapatkan beberapa tahun lalu saat mengobrol dengan pengamen di halte Pintu Air Honda Jakarta Utara, pak ogah di putaran Jalan Ahmad Yani by pass Jakarta Timur, dan tukang parkir ilegal di sebuah bank di Jalan Utan Kayu Jakarta Timur.

Jakarta, Ahad, 13 Maret 2011-Senin, 13 Maret 2023

Pijar Bara Sesaat

 
"Pijar Bara Sesaat"


Seonggok perapian usang
terkapar beku tak tersentuh

            Jelaganya yang memburam
            mengetuk kalbu ‘tuk membasuh

                        Bukan dengan air mata
                        karena beningnya ‘kan ternoda

Bukan dengan tapak terbuka
karena lembutnya ‘kan tertiada

            Ambillah bara di dada
            percikkan dia di sana
            tunggulah letup-letupnya
            nantikan pijar-pijarnya

                        hingga tercipta di sekitarnya
                        beribu kehangatan dan berjuta cahaya
                        menelusup menelisik jiwa
                        menebar memancar raga

sampai pijar yang ada
berubah menjadi bara
mengerang dan mengarang

Jakarta, 22 Februari 2004-2023