Sepenuhnya karena Dia Ayahku


“Sepenuhnya karena Dia Ayahku”


Jakarta, 13 April 2007

Panas. Panas sekali hatiku melihat keberaniannya untuk menampakkan diri di hadapanku. Rambutnya yang telah memutih hanya menutupi sebagian kecil botak kepalanya. Tubuhnya yang ringkih tidak lagi meninggalkan sisa-sisa kemudaannya dulu.

“Maafkan ayah, Mas!” lagi-lagi Pras yang mengucapkan kata-kata itu. Lelaki tua itu sendiri hanya membisu. Menunduk dengan sesekali menatap, mengharap iba ke arahku. Lalu menunduk kembali begitu aku balas menatapnya.

“Dia bukan ayahku! Bukan ayahmu, bukan ayah Nas, maupun Kas! Dia bukan ayah kita!” tegasku. Penuh kemarahan kutekan suaraku. Pras tampak terkejut. Pun lelaki tua itu.

“Mas!” Pras setengah berdesis. Lelaki tua itu kembali menunduk.

“Kuingatkan sekali lagi, Pras! Dia bukan ayah kita!”

“Bukan ayah kita? Lalu siapa laki-laki yang menanamkan benih di rahim ibu? Mas, beliau suami ibu! Ayah kita!”

“Sekadar menanamkan benih kau sebut ayah?” potongku.

“Beliau suami ibu, Mas!” Pras mengulang.

“Suami? Lelaki yang meninggalkan istrinya saat mengandung apakah itu seorang suami?” sinisku.

“Mas, beliau tetap ayah...”

“Apakah laki-laki yang meninggalkan istri dan anak-anaknya hanya untuk perempuan lain masih layak disebut ayah? Tidak, Pras! Bagiku seorang ayah bukanlah sekadar menanamkan benih untuk kemudian menyia-nyiakannya!” Lelaki tua itu semakin menunduk.

“Mas, ayah membutuhkan kita!” perlahan Pras berucap. Mungkin ia bermaksud meredakan emosiku.

“Kita pun dulu membutuhkannya, Pras! Tapi apa yang kita dapat?” tanyaku menggugat.

“Mas! Mas Bas tak perlu mengungkit masa lalu. Saat ini ayah hanya menginginkan untuk hidup tenang bersama keluarganya. Dan keluarganya yang masih tersisa adalah kita, anak-anaknya!”

“Tidak denganku, Pras!” tegasku.

Sunyi menyelimuti ruang tamuku yang tidak begitu luas. Suara detak jelas sekali terdengar. Entah detak jam dinding atau detak jantung kami masing-masing.

“Biar ayah bersamaku, Mas...” Pras memecah kesunyian, “mungkin anak-anakku lebih membutuhkan seorang kakek!” Pras segera mohon diri bersama lelaki tua itu. Aku melepasnya dengan masygul.

*

Sukoharjo, 29 September 1973

“Baskoro, kamu anak sulung! Jagalah adik-adikmu. Umur Nenek tak lama lagi. Bukan ingin mendahului takdir-Nya, tetapi usiaku sudah memperingatkan. Semua saudaraku telah berpulang. Bahkan, ibumu, anakku satu-satunya dari mendiang kakekmu, sudah lima tahun lalu meninggalkan kita. Sudah saatnya aku menghadap-Nya! Pesanku, temui ayahmu! Mudah-mudahan ia masih mengingat anak-anaknya ....”

Aku yang saat itu baru berusia tiga belas tahun tak kuasa membendung air mata. Betapa perihnya kehilangan. Nenek, semula aku mengira dapat tumbuh dewasa dalam bimbingannya sebagai pengganti ibuku, ternyata harus pergi secepat yang tak kuduga.

“Apa? Bisa-bisanya kalian mengaku sebagai anakku. Aku tak pernah mempunyai anak-anak kotor seperti kalian!” Kalimat itu kurasakan sangat keras memukulku. Bagaikan sebuah gada besar yang ditimpakan dari ketinggian. Pras belum mengerti. Ia lebih asyik menggigiti kuku tangannya, kebiasaan yang baru hilang ketika ia lulus SD. Nastiti sendiri langsung bersembunyi di belakang kakiku. Suara ayah yang menggelegar sangat menakutkannya. Ia sudah terbiasa dengan suara nenek yang lembut dan penuh asih. Kas yang berada dalam gendonganku tiba-tiba menangis keras.

“Apalagi anak ini! Anak haram jadah! Tangisannya saja membuat seisi rumah tidak nyaman. Pergi sana! Cari orang lain yang mau mengakui kalian sebagai anak!”

Tangis Kas kian mengeras. Tidak, Kas! Kamu bukan anak haram jadah! Lelaki itulah yang haram jadah. Dukun palsu yang mengaku mampu mengobati ibu, tetapi justru merusak kehormatan ibu. Dan, lelaki yang berkacak pinggang dengan pongahnya ini tidak lebih baik dibandingkan dengan dukun palsu itu. Lelaki yang meninggalkan istri dan anak-anaknya hanya untuk memuaskan hawa nafsunya dengan perempuan lain. Yang membiarkan seorang perempuan terpasung dalam kedukaan. Nyaris gila. Hingga dalam kegilaannya itulah seorang lelaki yang mengaku bisa menyembuhkannya justru menaburkan benihnya... Tidak, Kas! Kamu tidak bersalah! Namun, tangis Kas tidak kunjung mereda.

*

Jakarta, 20 April 2007

“Datanglah, Mas! Maafkan ayah! Mungkin ini permintaannya yang terakhir!” bujuk Pras. Sudah berkali-kali ia mengunjungiku, mencoba meluluhkan hatiku. Kali ini ia bersama Nastiti, adik perempuanku satu-satunya.

“Sejak semula aku katakan, dia bukan ayahku! Tak ada seorang ayah dalam hidupku, Pras!” ucapku keras.

“Untuk yang terakhir, Mas!” Pras kian memohon. Aku semakin kesal. Sedari tadi itu melulu perkataan Pras. Permintaan terakhir!

“Tidak, Pras!” kurasakan tubuhku bergetar.

“Mas! Mengapa Mas Bas masih sekeras itu? Seandainya ibu masih hidup, beliau pasti mau memaafkan ayah!” Ucapan Pras benar-benar membuatku terkejut. Bagai disengat lebah. Bahkan lebih dari itu!

“Beraninya kamu mengatasnamakan ibu? Kautahu, apa yang membuat ibu lebih cepat meninggalkan kita? Ia merana, Pras! Dengan tiga orang anak yang masih kecil dan seorang bayi dalam kandungan ia harus kehilangan seseorang yang seharusnya menjadi tempat bergantung. Seseorang yang seharusnya menya-yanginya, melindungi istri dan anak-anaknya ...” derasku, “kamu tahu, Pras? Siapa orang itu? Lelaki tua yang kaubanggakan sebagai ayahmu itulah orangnya!” tegasku penuh amarah. Pras tercenung. Nastiti mulai menangis.

“Mas, yang telah pergi sudahlah! Namun, apakah kita yang masih hidup tak ingin memberikan ayah sedikit kelegaan dalam sisa hidupnya?” Pras kembali menggugat.

“Aku tak ingin! Aku tak akan memberikannya!” desisku geram. Nastiti kian terisak.

“Mengapa, Mas? Karena dulu Mas Bas disia-siakan? Ingat, Mas! Bukan hanya Mas Bas! Kami pun begitu! Tapi haruskah kami sekeras Mas Bas untuk menolak ayah? Tidak, Mas! Dia adalah ayah kami! Dan kami bukan anak yang mendendam pada orang tua!” tegas Pras.

“Pras! Kaumemang bukan anak kecil yang masih ingusan. Kaubisa berkata apa saja sesuai yang kaumau! Kini kaubisa lakukan apa saja! Tapi, ingatkah kau, Pras? Siapa yang mengurusimu setelah ibu dan nenek tiada? Ayahmu? Bukan, Pras! Saat itu ia sedang bersenang-senang dengan perempuan lain. Ia tak ingat ibu. Ia tak ingat kita, Pras!” cecarku.

“Ya, aku tahu! Mas Bas yang mengurusi aku ketika itu. Mas Bas yang mengurusi kami semua. Kami, adik-adikmu, tak pernah mengingkarinya...” Pras berujar lemah.

“Nah, tentu kaupun bisa merasakan bagaimana perasaanku. Bagaimana sakitnya hati Masmu ini!” kataku perih. Pras tidak lagi bicara. Isak Nastiti sudah tak terdengar lagi. Tinggal bahunya yang berguncang-guncang.

*

Sukoharjo, 19 Januari 1974

Senja itu aku baru pulang setelah membantu tetangga mengurusi sawahnya. Nastiti, dengan setengah menangis, menyongsongku.

“Mas Bas, Kas tidak ada!” ia langsung menunduk. Aku yang sangat lelah langsung naik pitam. Nastiti yang kupercaya untuk menjaga Kas ternyata teledor.

“Memangnya ia ke mana, Nas?” tanyaku bergetar.

“Nas tidak tahu, Mas ...” ia semakin ketakutan.

“Apa saja yang kamu lakukan seharian?” Aku resah sekali. Kas tidak boleh dibiarkan sendiri. Anak itu sangat membahayakan dirinya sendiri. Pernah suatu kali ia mencoba bunuh diri...

“Aku tak mau hidup! Aku ingin mati!” histeris Kas. Aku memergokinya ketika ia memegang pisau yang mengarah ke dadanya. Aku mendekapnya erat seraya perlahan melepaskan pisau dari genggamannya.

“Aku anak haram! Aku anak jadah! Aku ingin mati!” tubuhnya terguncang hebat. Aku kian merengkuhnya. Pisau di tangannya telah terhempas di tanah.

“Lepaskan aku! Aku anak haram jadah!” Kas terus menjerit-jerit. Rupanya cemoohan anak-anak sebayanya hari itu kian menyesakkan dadanya. Kurasa, tak hanya anak-anak itu yang menyakitinya dengan kata-kata itu. Para orang tua yang sering berbisik mengenai dirinya, sering terdengar jelas di telinga. Bahkan kami, kakak-kakaknya, terkadang kelepasan mengucapkan kata-kata tersebut bila sedang kesal.

Seisi kampung mencari Kas. Di sawah, di kali, di bukit. Sampai tengah malam belum juga ditemukan. Beberapa tetangga mulai menduga-duga.

“Mungkin diambil Mbah Jambrong!”

“Mimi penunggu telaga menagih janji!”

Akhirnya diputuskan seluruh warga ber-istirahat. Begitu juga orang-orang pintar yang didatangkan dari desa tetangga. Aku pun langsung terkulai. Hingga pagi datang...

“Mas Bas, Mas Bas! Kas...” Aku terbangun mendengar jeritan Nastiti. Ia terduduk di belakang rumah. Pagi masih agak gelap. Saat kuhampiri dengan gemetar Nastiti menunjuk ke atas. Tubuh Kas tergantung di pohon jati.

*

Jakarta, 27 April 2007

Udara malam ini terasa panas. Tidak biasanya. Heran, istri dan kedua anak perempuanku malah sudah terlelap.

“Assalamualaikum...” Pras. Suaranya yang terakhir ini sering mengunjungi rumahku telah kuhafal. Untuk apa dia datang malam-malam begini? Agak enggan aku membukakan pintu setelah menjawab salamnya.

“Mas, ayah...” suara Pras terputus. Aku hanya diam. Apalagi yang ingin ia katakan untuk meluluhkan hatiku? Beberapa kali kunjungannya tidak berhasil mengubah pendirianku. Bahkan, ketika lelaki tua itu dikabarkan dirawat di rumah sakit sekalipun.

“Ada apa lagi, Pras?” tanyaku akhirnya memecah kesunyian.

“Ayah meninggal, Mas...”

Aku bergeming. Pras mungkin tak mengira kalau aku akan tetap dengan pendirianku. Aku tidak akan menemuinya.

“Sudah kau persiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk pemakaman?” tanyaku dingin.

“Mas...” ucapan Pras tercekat.

“Kalau belum, uruslah!” usirku halus. Ia tidak berbicara lagi. Hanya matanya menatapiku begitu rupa. Marahkah? Sedihkah? Atau... kasihan?

“Sebagai anak ayah aku memohon maafmu untuknya, Mas!” Perlahan Pras membalikkan badannya dan menjauh. Tidak lama tubuhnya lindap di balik kegelapan.

*

Sukoharjo, 25 Juni 1969

Hari itu ayah memaki-maki ibu lagi. Padahal, ia baru pulang ke rumah setelah berbulan-bulan meninggalkan ibu dalam keadaan sakit. Ia menuduh ibu berbuat yang bukan-bukan selama kepergiannya.

“Lelaki itu telah menghamilimu, kan?” tuduhnya geram. Ibu hanya diam menunduk, tak bersuara. Tidak menangis. Mungkin mata air di matanya telah mengering. Tidak ada lagi yang tersisa untuk perlakuan ayah yang kian hari kian menggila.

“Aaaakh...!” Ibu menjerit keras sekali. Ya, Allah! Ayah menendang perut ibu! Aku yang semula hanya meringkuk di sudut ruangan langsung melesat memeluk ibu. Ia terus mengerang.

“Perempuan sinting! Biar kubunuh sekalian bersama bayi jahannam itu!” Ayah menunjuk-nunjuk perut ibu. Aku langsung berteriak-teriak seperti orang kesetanan begitu melihat ayah bersiap untuk menyakiti ibu lagi. Kupeluk perut ibu supaya terlindung.

Bukkk!

Mataku langsung berkunang-kunang. Kaki ayah ternyata bersarang di tengkukku. Aku mencoba membalikkan badan.

“Ayah! Ini aku, Baskoro! Anakmu, ayah!” jeritku pada ayah. Aku berharap ayah menghentikan tindakannya.

Prakkk!

Kurasakan bibirku pecah. Kini bibirku yang menjadi landasan kaki ayah. Sekilas kulihat pecahan gigiku melenting ke tanah. Gigiku patah!

“Bajingan cilik ini, jangan-jangan juga bukan anakku!” Jari telunjuk ayah menuding mukaku yang memerah. Merah karena lukisan tapak kakinya. Merah karena mendengar kata-katanya yang menusuk. Mataku menanar. Ibu langsung memelukku, menyembunyikan wajahku yang penuh kebencian terhadap ayah. Namun, aku tetap mencari celah untuk menunjukkan perlawananku. Sorot mata kami saling berkilatan.

Kau bukan ayahku. Kau bukan ayahku!

*

Jakarta, 5 Mei 2007

Sudah setengah jam aku berada di atas sajadah ini. Kurasakan tubuh ini memberat. Kubersimpuh.

“Ya, Allah! Ampunilah aku! Bukan aku ingin membalas perlakuannya pada isteri maupun anak-anaknya. Hanya Engkaulah yang berhak memberi balas. Ya, Allah! Aku hanya ingin menuntut tanggung jawabnya sebagai seorang ayah. Hal ini kulakukan sepenuhnya karena dia memang ayahku!

****

Jakarta, 23 Mei 2008

diunggah kembali Ahad, 29 Januari 2023

(Pesan untuk saudaraku: “Tak perlu menunggu saat engkau baru menyadari bahwa betapa ketiadaan sesuatu yang dicintai adalah sebuah penyesalan!”)

Cerpen ini dibuat semasa kuliah dengan tulis tangan sebelum tahun 2000-an (kalau tidak salah ingat). Awalnya untuk majalah jurusan tetapi tidak jadi dimuat. Pada Mei 2008 direvisi dan diikutsertakan pada Lomba Menulis Cerita Pendek 2008 Program Reguler yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional. 


Selamat Tinggal Rumah Pertamaku

 


Saya terkena rotasi tempat mengajar. Terhitung mulai Selasa, 9 Januari 2023 saya harus sudah mengajar di SMA Negeri 75 Jakarta. Dengan demikian saya harus meninggalkan tempat mengajar saya sebelumnya, yaitu SMA Negeri 72 Jakarta. Sekolah pertama tempat saya mengajar sejak Agustus 2000. Bisa dibilang, inilah rumah pertama saya. Sekitar 22 tahun saya tumbuh dan berkembang di sekolah ini. Sekarang saatnya saya mengucapkan:

"Selamat Tinggal SMA Negerii 72 Jakarta"