Mereka Bilang Saya Teroris

 


"Mereka Bilang Saya Teroris"


        Sebuah sel sempit. Hanya ada sekotak kecil jendela yang mengalirkan terbatas oksigen ke dalamnya. Udara pengap berbaur dengan aroma pesing dan busuk. Seorang tahanan tua duduk bersila. Bibirnya tak henti bergumam. Jemari tangannya yang kaku dan keriput menandai jumlah lafaz yang ia lantunkan. Zikir.

'Brakkk!'

Tiba-tiba terdengar suara pintu membuka. Sang tahanan tua melihat tubuh muda yang didorong ke dalam selnya dengan kasar.

PENJAGA

         ”Kau bisa diskusikan ideologi sintingmu dengan lelaki tua itu! Ha... ha... ha...”

(Sang aparat tertawa mengejek sambil kembali menghempaskan pintu tahanan)

       Hening. Hanya terdengar deru nafas sang tahanan muda. Gumam sang tahanan tua telah terhenti.


TAHANAN TUA

 ”Assalamu’alaikum...”

(Sang tahanan tua memulai pembicaraan. Namun, sang tahanan muda sepertinya belum bisa memulihkan jiwanya yang dalam keadaan tertekan. Ia hanya memandangi sang tahanan tua. Sang tahanan tua tersenyum. Ia memahami keadaan sang tahanan muda)

”Selamat datang, Anak Muda! Beginilah sel untuk kita. Tak ada sinar. Bahkan nyaris tanpa udara. Aroma busuk pun harus menjadi menu sehari-hari karena saluran air itu yang mengalirkan kotoran dari penghuni sel lainnya.”


(Sang tahanan muda mengikuti jari telunjuk sang tahanan tua. Sebuah saluran air dengan lebar sejengkal jemari dewasa dengan kedalaman hanya setengahnya)

TAHANAN MUDA

 ”Sudah berapa lama Bapak di sini?”


(Akhirnya terdengar juga suara sang tahanan muda)


TAHANAN TUA


         ”Aku tidak tahu pasti berapa lama aku di sini. Tanggal dan tahun berapakah sekarang ini?”


(Sang tahanan muda berpikir sejenak. Ia mencoba mengingat-ingat)

TAHANAN MUDA


         ”Seharusnya sekarang tanggal 20 September 2018...”


TAHANAN TUA


         ”Ah... sudah delapan tahun sepertinya. Aku ditangkap sebulan setelah di kampungku usai menyambut kemerdekaan negeri ini. Aku merasa sudah sangat lama di sini. Kurasakan tubuhku sudah lekas menua. Pandanganku semakin kabur. Bukan saja karena aku tidak pernah mendapat cahaya. Pukulan dan siksaan sudah menjadi santapan rutinku di sel ini. Setiap pertanyaan yang mereka ajukan selalu terjawab salah sehingga berhadiah bogem mentah.”


(Sang tahanan muda baru menyadari bahwa lelaki tua di hadapannya sudah tidak memiliki pandangan yang sempurna. Tubuhnya ringkih seolah tinggal tulang berbalut kulit. Bilur-bilur hitam bekas siksaan menanda di berbagai bagian tubuhnya)


         ”Mengapa kau sampai di sini, Anak Muda?”


TAHANAN MUDA


         ”Mereka bilang saya teroris, Pak...”


TAHANAN TUA


         ”Apakah kau memang seperti yang mereka tuduhkan?”


(Sang tahanan tua bertanya tanpa bermaksud meyelidik)


TAHANAN MUDA


         ”Ya!”

(Sang tahanan tua terkejut. Ia merasakan ada hentakan dalam jawaban sang tahanan muda)


TAHANAN TUA


         ”Mengapa kau melakukannya?”


TAHANAN MUDA


         ”Saya mendendam, Pak. Ayah saya ditangkap dan diberitakan sebagai teroris. Padahal ia hanya seorang guru mengaji. Saya adalah anak sekaligus muridnya. Saya tahu pasti bahwa ayah saya bukan teroris!”


TAHANAN TUA


         ”Lalu mengapa sekarang kau justru menjadi teroris?”


TAHANAN MUDA


         ”Menjadi apa pun asal dapat membalaskan dendam saya akan saya lakukan. Saya seorang teroris bagi mereka yang sudah menghancurkan keluarga saya. Selama ini tak ada ruang bagi kami untuk membela diri. Ayah menghilang diiringi fitnahan sebagai teroris. Ibu kesulitan mendapatkan pekerjaan karena statusnya sebagai ’istri teroris’. Kami hidup dalam cibiran dan lirikan kecurigaan. Mereka bukan saja menculik ayah. Mereka telah merenggut hidup dan masa depan keluarga kami!”


TAHANAN TUA


         ”Bagaimana keadaan ibumu sekarang?”


TAHANAN MUDA


         ”Ibu sakit-sakitan setelah itu. Tanpa pengobatan yang layak, ajal pun menjemputnya dua tahun yang lalu...”


(Suasana kembali hening. Ada yang mulai terjalin di ingatan sang tahanan tua. Tiba-tiba sang tahanan muda menyadari kalau sekarang adalah gilirannya untuk mengetahui siapa lelaki tua itu)


         ”Bapak sendiri, mengapa bisa berada di sini?”


TAHANAN TUA


         ”Aku tidak tahu. Aku dijemput orang-orang berpakaian seragam saat ingin menjalankan sholat Subuh di mushola dekat rumah. Kejadian itu tanpa sepengetahuan keluargaku. Sejak saat itu aku tak pernah bertemu istri dan anakku.”

TAHANAN MUDA


         ”Bapak tinggal di mana?”


(Ada yang mulai mengusik isi dada sang tahanan muda)


TAHANAN TUA


         ”Di Desa Tanjung Katung.”


TAHANAN MUDA


         ”Apakah Bapak bernama Ismail Ghozali?”


TAHANAN TUA


         ”Ya, namaku Ismail Ghozali.”


(Sang tahanan muda serta-merta menghambur dan memeluk sang tahanan tua)

TAHANAN MUDA


         ”Ayah! Aku Harun Ismail, anakmu!”


TAHANAN TUA


         ”Harun...”

(Sang tahanan tua balas memeluk sang tahanan muda. Mereka menangis dan tertawa bersamaan. Ada kegetiran ketika menyadari bahwa mereka harus berjumpa di tempat seperti ini. Ada kebahagiaan saat mengetahui bahwa Sang Maha Pengasih mempersatukan mereka setelah sewindu menanggung rindu)

SELESAI


Jakarta, 12 Maret 2011-31 Desember 2023