'Enaknya' Hidup di Jalan

 

Bukan hal yang asing ketika di perempatan maupun tepian jalan di berbagai kota kita akan menjumpai aktivitas mereka. Ada yang mengamen dengan hanya bermodalkan tepukan tangan. Ada yang menadahkan tangan seraya menunjukkan tampang mengiba. Ada yang berpura-pura membersihkan debu mobil dengan kemoceng yang bukan membuat bersih tetapi justru membuat goresan-goresan di bodi mobil. Ada juru parkir dadakan yang justru malah membuat macet. Ada pengasong yang keberadaannya seolah membantu para pengendara dari terkena dehidrasi dan mulut asem. Ada pelacur yang berjenis kelamin jelas maupun yang masih membingungkan. Ada penjahat yang mengintai di balik kelengahan para pengguna jalan.

Dampak keberadaan mereka sudah kita rasakan sendiri. Ketidakpatuhan mereka terhadap ketertiban jelas berkontribusi besar dalam merusak keindahan kota. Cara mereka memperoleh penghasilan sesungguhnya malah menurunkan harkat dan martabat manusia . Juga menambah kisruh lalu-lintas yang sudah memprihatinkan. Perilaku mereka bisa membahayakan nyawa sendiri maupun nyawa orang lain. Kehadiran mereka dapat menghilangkan rasa nyaman. Bahkan, tidak sedikit yang justru menimbulkan keresahan.

Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi keberadaan mereka. Kebanyakan menggunakan cara instan seperti memberi uang langsung atau makai ‘jasa’ mereka. Adapun proses penertiban dan pemberian pelatihan yang selama ini dilakukan dirasakan masih begitu mahal. Banyak biaya yang harus dikeluarkan. Banyak waktu yang dibutuhkan.

Penanganan dengan cara instan dan mahalnya penanganan proses membuahkan kegagalan . Mereka biasanya akan tetap di jalan. Mereka yang sudah terbiasa hidup bebas tidak mau diatur. Di jalan mereka tidak terikat jam kerja dan hari kerja, semaunya! Mereka tidak terbiasa dengan bekerja memeras keringat dan membanting tulang untuk menunjukkan harga diri. Mencuci pakaian orang lain belum tentu bisa menghasilkan satu juta dalam sebulan. Bekerja sebagai office boy (OB) atau cleaning service (CS) dengan penghasilan tidak sampai satu juta per bulan juga tidaklah ‘menarik’ bagi mereka. Apalagi jika harus menjadi penyapu jalan dengan upah hanya separo dari gaji seorang OB atau CS.

Bandingkan dengan ‘pekerjaan’ mereka di jalan. Seorang pengamen yang tidak perlu mencipta dan membayar royalti lagu bisa mendapat Rp. 40.000-Rp.60.000 per hari dengan ‘jam terbang’ pukul 10.00-20.00 (dengan waktu beristirahat semaunya tentunya). Seorang pak ogah bisa memperoleh Rp. 30.000-Rp. 50.000 dalam satu shift/giliran (Dalam satu hari bisa tiga shift/giliran, biasanya bertepatan dengan jam-jam macet). Seorang tukang parkir ilegal bahkan bisa mendapat Rp. 70.000 dalam satu hari dengan tidak perlu menyetorkan pada kas pemda*). Belum lagi pengemis yang sangat mahir dalam mengais simpati para dermawan jalanan atau penjaja seks yang ‘nyambi’ menjadi pemeras. Termasuk penjahat jalanan yang butuh uang sekaligus pelampiasan nafsu setan.

Nah, sekarang masih perlukah kita berempati terhadap mereka? Anda yang tentukan sendiri! Sekarang sudah begitu banyak tersedia tempat yang bisa menjadi ladang amal kita. Mulailah dari keluarga kita sendiri. Selanjutnya, kepada tetangga kita sendiri. Jika keduanya sudah dirasakan cukup alihkanlah kepada rumah ibadah, instansi, yayasan, atau badan yang Anda percayai untuk menyalurkan sebagian harta Anda. Bukankah di masa pertanggungjawaban nanti kita akan ditanya, “Dari mana hartamu kamu peroleh dan ke mana kamu membelanjakannya?”

*)Informasi nominal ini saya dapatkan beberapa tahun lalu saat mengobrol dengan pengamen di halte Pintu Air Honda Jakarta Utara, pak ogah di putaran Jalan Ahmad Yani by pass Jakarta Timur, dan tukang parkir ilegal di sebuah bank di Jalan Utan Kayu Jakarta Timur.

Jakarta, Ahad, 13 Maret 2011-Senin, 13 Maret 2023