Tiga belas tahun lalu negeri ini sempat mempunyai mimpi. Reformasi. Sebuah kata yang saat itu masih merupakan kata asing yang belum pernah, atau bahkan tidak pernah, kita gunakan dalam percakapan sehari-hari. Kalaupun ada yang sudah memakainya, konteksnya belum merujuk pada perubahan kehidupan politik.Di tahun itu, sebagian kakak-kakak, teman-teman, dan adik-adik kampus menjadi bagian dari yang namanya Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Ada yang hanya level jurusan, fakultas, kampus, bahkan provinsi. Saya sendiri saat itu hanya berada pada tingkat jurusan. Kami mencoba mengisi masa-masa kehidupan di kampus dengan sesuatu yang berarti, yaitu berorganisasi.
Hari itu kampus kami mengadakan sebuah pameran antarjurusan. Pengurus BEMJ kami dengan beberapa dosen muda mempersiapkan segala hal yang bisa kami tunjukkan pada pameran tersebut. Di saat bersamaan, teman-teman lain juga sedang melakukan orasi damai terkait dengan tuntutan pergantian rezim.
Siang hari tersiar kabar dari luar kampus bahwa kerusuhan dan pembakaran terjadi di mana-mana. Sebagian besar mahasiswa panik. Yang tinggal/kos di dekat kampus kembali ke kediamannya dengan mengajak beberapa rekan untuk menginap. Yang jauh dari kampus dihimbau untuk tetap berada di kampus karena transportasi mati, tidak ada angkutan umum yang beroperasi. Saya, meskipun tinggal di dekat kampus, memilih untuk bersama teman-teman di kampus. Solidaritas, kata saya.
Keadaan semakin mencekam menjelang malam. Perasaan khawatir sangat terasa, apalagi di jurusan kami mayoritas perempuan. Dapur umum diadakan di salah satu kantin kampus. Saya dan beberapa teman laki-laki bertugas mengambil jatah jurusan kami. Di sinilah saya geleng-geleng kepala. Dalam keadaan susah yang baru permulaan saja sudah terjadi hukum rimba. Sekelompok mahasiswa pria dari sebuah jurusan yang terkenal arogan mendominasi dapur umum. Mereka makan terlebih dahulu dengan porsi kesetanan. Benar-benar tidak memikirkan orang lain. Mereka seperti tidak tahu bahwa memasak untuk banyak orang membutuhkan banyak waktu. Berkarung-karung beras menjadi tidak seberapa dibandingkan jumlah mahasiswa sebuah kampus besar. Jurusan kami dan jurusan lain akhirnya harus menunggu beras dimasak lagi. Kami membawa bagian yang hanya sedikit karena hari sudah terlalu larut malam, khawatir selera makan teman-teman sudah tidak ada. Seingat saya, saya pun tidak ikut makan. Selera makan saya hilang. Bukan saja oleh suasana yang mencekam tetapi juga dengan pengalaman di dapur umum tadi.
Tengah malam sekelompok masyarakat dari luar (kabarnya dari daerah Priok) memprovokasi kami. Kami tidak terpancing. Untungnya, mereka pun tidak memaksa dengan fisik. Sebagian besar dari kami masih dapat pulas tidur di kampus.
Saat pendudukan DPR/MPR saya tidak menjadi bagian dari teman-teman mahasiswa. Saya hanya mendapatkan 'siaran langsung' dari seorang teman yang dengan 'bangganya' berada di sana. Dia beralasan bahwa keberadaannya di sana ingin menjadi 'saksi sejarah'. Saya tertawa mendengarnya. Saat kami berkomunikasi saya sedang memberikan les private kepada keponakan saya. Yah, terkesan mengedepankan urusan perut memang. Namun, ketika saya lapar dan butuh ongkos bus serta fotokopi materi kuliah, tentunya tidak akan ada yang bisa menjamin bahwa teman-teman saya itu akan peduli. Realistis sajalah!
Sekarang kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini terasa semakin karut marut. Politisi-politisi busuk yang terlibat dalam persekongkolan jahat ternyata juga dulunya pernah menjadi aktivis mahasiswa. Mereka menuntut rezim sebelumnya untuk mereformasi diri menjadi orde baru. Politisi-politisi masa kini pun tak jauh berbeda. Mereka yang sekarang banyak dihujat juga dahulunya adalah bagian dari mahasiswa penuntut reformasi. Ya, sejarah memang akan terus berulang!
Artikel berikut ini saya kutipkan sebagai informasi mengenai aktivitas beberapa aktivis 1998 dulu dan sekarang, tetapi sayangnya tidak ada nama-nama mereka yang sekarang bernaung di bawah pohon beringin yang sempat heboh dibicarakan:
"Aktivis 1998: Dulu dan Kini"
Oleh Famega Putri
Newsroom Blog, Kamis, 12 Mei 2011
Gerakan rakyat tahun 1998 tak akan berhasil menggulingkan Suharto tanpa peran mahasiswa dan aktivis. Empat mahasiswa Elang Mulya Lesmana, Hafidhin Royan, Hery Hertanto, dan Hendriawan Sie, gugur pada Tragedi 12 Mei 1998.Siapa saja aktivis 1998, dan apa yang mereka lakukan kini? Inilah mereka, di antaranya:
Pius Lustrilanang
1998: Aktivis LSM yang diculik pada 4 Februari 1998. April 1998, Pius menjadi orang pertama yang berani menceritakan tentang penculikannya. Pengakuan ini menyebabkan dia harus mengungsi ke Belanda demi keamanan. Belakangan diketahui penculikan dilakukan oleh Komando Pasukan Khusus yang dipimpin Prabowo Subianto. (Tempo)
Sekarang: Politikus Partai yang dipimpin Prabowo, Gerindra. Anggota DPR periode 2009-2014 ini terancam dipecat dari partainya karena mendukung pembangunan gedung baru DPR.
Heru Cokro
Dulu: Koordinator lapangan dalam pendudukan Gedung DPR/MPR pada Mei 1998.
Kini: Pengusaha di bidang konsultasi manajemen, anggota Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI).
Rama Pratama
1998: Ketua Senat Mahasiswa Universitas Indonesia 1997-1998.
Kini: Politikus Partai Keadilan Sejahtera. Disebut-sebut oleh terpidana korupsi Abdul Hadi Jamal dalam sidang suap proyek dermaga di Indonesia Timur. (Tempo)
Munir Said Thalib
1998: Pemimpin Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan. Munir membela para aktivis yang diculik, salah satunya adalah Pius Lustrilanang. (Tempo)
Kini: Diracun di udara dalam penerbangan menuju Belanda, 7 September 2004. Dalang pembunuhnya masih gelap.
Andi Arief
1998: Ketua Senat Mahasiswa Fisip UGM 1993-1998, juga menjadi Ketua Umum Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi Cabang Yogyakarta tahun 1996. Aktivitasnya ini menyebabkan dia diculik oleh Komando Pasukan Khusus yang dipimpin Prabowo Subianto. (Tempo)
Kini: Staf khusus presiden bidang bantuan sosial dan bencana.
Taufik Basari
1998: Aktivis dan mahasiswa fakultas hukum Universitas Indonesia.
Kini: Pengacara kasus-kasus pelanggaran HAM. Tim pengacara Bibit dan Chandra, koordinator tim advokasi lumpur lapindo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar