“Ada yang mati! Ada yang mati!” Aku berteriak kegirangan dalam hati. “Ada orang
mati!”
Kematian. Mungkin bagi
orang lain kata itu sangat dihindari. Namun tidak bagiku. Orang lain boleh
berduka dengan datangnya. Adanya kematian bagiku adalah kebahagiaan. Bahagia,
karenanya aku dapat memenuhi kebutuhan belanja istriku. Karenanya pula aku
dapat memenuhi kebutuhan susu anakku.
“Perlu berapa orang,
Ja?” tanya Bang Ical.
“Lima ratus!” jawabku
penuh nada kejutan. Pesanan tertinggi yang pernah kami dapatkan untuk jumlah
relawan pelayat. Selama ini pesanan untuk relawan pelayat biasanya hanya di
bawah tiga ratus orang.
“Gila! Lu nggak salah,
Ja?” kembali Bang Ical bertanya. Kali ini sambil membulatkan mata dan
menjulurkan lehernya. Tak percaya.
“Ini yang pesan
pejabat, Bang! Wajar, kan? Jumlah segitu mah nggak ada apa-apanya dibanding
jumlah relasinya!” Aku menjawab dengan gaya seolah-olah akulah pejabat
tersebut.
“Dari mana kita
ngumpulin orang sebanyak itu, Ja? Kemarin aja waktu Bu Dharmo yang butuh tiga
ratus orang kita udah kedodoran. Ini lima ratus!” suara Bang Ical tercekat. Aku
tahu ia pasti senang juga mendengar berita ini.
“Tenang, Bang! Urusan
relawan biar saya dengan Ucup yang mengatur. Pokoknya, Bang Ical tahu beres!”
gayaku lagi bak seorang pejabat sungguhan.
“Kapan penguburannya?”
“Dua hari lagi.”
Itu tandanya masih ada
kesempatan buat mencari relawan tambahan.
*
“Ingat! Saya sudah
bayar mahal untuk pelayat yang saya pesan. Saya tidak mau orang-orang yang Anda
kirim hanya bergerombol sibuk dengan urusan masing-masing. Kalau kasus Tuan Kim
terjadi pada saya, saya tidak mau membayar penuh harga yang Anda ajukan!” Pak
Broto, klien terbaruku setelah Tuan Kim yang memesan lima ratus relawan
pelayat, kembali memberi peringatan.
“Tenang, Pak!
Kesalahan saat pemakaman Tuan Kim tidak akan terulang lagi. Kejadian kemarin
akibat kurang koordinasi. Saya menjamin hal itu tak akan terulang ketika
pemakaman mendiang ibu Pak Broto!” ucapku meyakinkan.
“Saya ingin mereka
benar-benar menangis saat pemakaman nanti! Bukan bergerombol sambil ngobrol tak
karuan!”
“Saya akan persiapkan,
Pak! Kalau perlu jika Bapak menginginkan akan saya hadirkan orang-orang yang
bisa menangis sampai meratap-ratap!” janjiku berusaha menutupi kegugupanku.
Harapanku, semoga Pak Broto tidak terlalu terpengaruh terhadap pelayanan kami
terhadap pemakaman Tuan Kim.
“Ya, itu tentu lebih
baik! Hal itu akan semakin mengesankan bahwa ibuku memang orang yang pantas
ditangisi dan diratapi kepergiannya.” Suara Pak Broto mulai menurun. Rupanya ia
mulai melupakan kasus Tuan Kim.
“Tapi, Pak ...,
tarifnya tentu berbeda antara yang meratap dengan yang sekadar menangis ...”
Aku sengaja menggantung ucapanku.
“Masalah itu tidak
usah dirisaukan! Saya akan bayar dua kali lipat jika proses pemakaman
berlangsung sesuai dengan yang saya inginkan!” tegas Pak Broto menandakan
transaksi telah disepakati.
*
“Mertuanya Mpok Leha
meninggal, Bang.” Aku baru saja berkemas hendak ke kantor ketika istriku
mencekal lenganku.
“Kamu saja yang melayat!
Aku harus mengumpulkan orang untuk pemakaman ibunya Pak Broto!”
“Tapi Bang, Mpok Leha
tetangga kita...” istriku berusaha menahanku, “tengok dulu sebentar, Bang!”
“Sih, besok
orang-orang itu mau dipakai! Aku masih harus mencari sekitar seratusan orang
lagi!” agak emosi kutatapi istriku, “Kamu saja yang ke sana!” Istriku hanya
diam.
Aku benar-benar serba
salah. Tetanggaku mengalami kematian tetapi aku tidak bisa bertakziah meski
sebentar. Selain itu, besok hari pemakaman ibu dari Pak Broto. Jumlah pelayat
yang diinginkan sangat banyak. Namun, hal itu tidak menjadi masalah jika dia
tidak menuntut pelayat harus menangis. Aku kesulitan. Orang-orang yang biasa
kupakai selama ini hanya bisa terima uang tetapi sulit untuk diajak
profesional.
Akh! BARZAH memang
harus menyediakan pelayanan yang maksimal terhadap orang yang membutuhkan
jasanya. BARZAH, Bisnis Antar Jenazah. Satu-satunya pelayanan jasa pemakaman
yang dilengkapi dengan tenaga pelayat yang dapat dipesan. Kupikir prospek
usahaku ke depan akan semakin membaik di tengah perilaku masyarakat urban yang
kian individual.
*
Bisnis antar jenazahku
semakin dikenal orang. Namun, tidak ubahnya dengan bisnis-bisnis yang lainnya
bisnis ini pun harus mengalami masa pasang dan surut. Untuk mengantisipasinya
aku mau tidak mau harus melebarkan jangkauan wilayah pemasaran. Aku dan Bang
Ical berusaha memperkenalkan bisnis ini ke daerah lain. Bukan lagi sekadar di
Ibukota tetapi kalau perlu ke provinsi lain.
“Kepergian abang
benar-benar tak bisa ditunda?” isteriku memegangi lenganku. Aku yang sedang
menyiapkan segala keperluanku selama di Surabaya terpaksa menghentikan
aktivitas tersebut.
“Pesawatku tidak
sampai dua jam lagi harus berangkat, Sih! Sekarang pun aku masih di rumah. Jam
berapa aku harus sampai di bandara?” tanyaku kesal pada isteriku.
“Sudah tiga orang
tetangga kita meninggal. Tidak satupun yang Abang tengok. Semua orang juga
sibuk, Bang! Tapi mereka tetap menyempatkan diri bertakziah meskipun sebentar,
Bang!” nada suara isteriku terdengar protes.
“Sih! Aku baru mencoba
mengembangkan bisnisku! Kesempatan tidak akan datang dua kali! Mumpung ada
penawaran membuka cabang di Surabaya, aku akan mempelajari kemungkinan itu! Aku
harus berangkat sekarang!” belaku seraya kembali mengemasi keperluanku. Kulihat
jam tanganku. Gila! Jarumnya seolah lebih cepat dari yang seharusnya!
Gerakanku yang
demonstratif saat melihat jam di pergelangan tanganku membuat isteriku menjauh.
Ia tidak lagi menggangguku. Ya, seharusnya ia memahami apa yang kulakukan. Aku
harus benar-benar profesional di pekerjaanku yang baru ini. Sudah tak terbilang
jenis pekerjaan yang coba kugeluti. Semuanya berakhir naas. Ujung-ujungnya
bangkrut atau di-PHK!
*
Gila! Pesawat yang
seharusnya membawaku kembali ke Jakarta ternyata harus delay selama satu jam.
Padahal isteriku sudah meneleponku, mengabarkan kalau anakku kecelakaan.
Kuhubungi isteriku.
“Bagaimana keadaan
Angga, Sih?”
“Kami sedang menuju
rumah sakit, Bang…” terdengar suara isteriku yang terisak.
“Siapa yang mengantar
kalian?” tanyaku lagi.
“Kami naik taksi.
Adikmu tak bisa dihubungi…”
“Tidak ada tetangga
yang bisa mengantar?”
“Sebagian besar masih
di pemakaman… Jadi tidak ada kendaraan yang bisa dipinjam.”
“Pesawatnya delay,
Sih! Aku agak telat. Namun, aku nanti akan langsung ke rumah sakit…” pesanku
sebelum mengakhiri pembicaraan.
Kuhembuskan nafasku
kuat-kuat. Tiba-tiba saja ada kegelisahan yang menyengat. Aku bukan hanya
mengkhawatirkan keadaan anakku. Aku membayangkan jika kemungkinan buruk harus
terjadi, apakah masih ada orang yang mau menyampaikan ucapan turut berduka cita
kepadaku? Tulus tanpa pamrih?
Selama ini aku nyaris
tidak sempat meluangkan waktuku meskipun sekadar mengucapkan berbelasungkawa
terhadap tetanggaku yang mengalami kematian. Bahkan, justru di tempat lain aku menjadikan
kematian sebagai lahan hidupku. Kukumpulkan orang-orang untuk berpura-pura
menangisi kepergian sang mendiang. Sesudahnya kuberharap akan imbalan atas
kepura-puraan tersebut.
Kuperhatikan jam di
dinding. Sepertinya jarum penunjuk detiknya lamban sekali berputar. Berbeda
dengan detak jantungku yang tiba-tiba semakin gelisah.
Anakku!
***
(SELESAI)
Jakarta, 9 Mei 2012

Tidak ada komentar:
Posting Komentar