Petikan Kisah Penggugah Jiwa

Sekadar mengingat kembali petikan kisah penggugah jiwa:

Selesai makan kami menaruh kardus sisa makanan di kolong meja masing-masing dan bersiap-siap mengikuti ceramah di ruang utama. Karena notes saya ketinggalan, setengah berlari saya pun kembali ke ruang diskusi ditemani Sari.

Saya hampir tak percaya pada apa yang kami lihat di ruang diskusi. Tak ada siapa pun. Hanya Toto yang sedang melongok meja kami masing-masing dan mengeluarkan kardus sisa makanan kami semua. Saya menatapnya tak mengerti. Dan sebelum saya bertanya, Toto tersenyum, setengah menunduk.

“Untuk adik-adik di rumah, … mereka pasti gembira….”



“Untuk Adik-Adik di Rumah”, Pelangi Nurani:Kumpulan Kisah_Kisah Kidupan untuk Memperkaya Jiwa,
Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia, Bandung PT Syaamil Cipta Media.




Alkisah seorang warga Jambi yang kaya raya melangsungkan pesta besar. Hajatan itu bertujuan untuk mencari jodoh putri semata wayangnya. Banyak pemuda yang turut hadir. Tuan rumah telah menyiapkan kolam yang diisi dengan ular berbisa dan buaya. Tuan rumah menantang para tamunya untuk berenang menyeberangi kolam yang ada di hadapan mereka. Barangsiapa yang berhasil berenang sampai ke seberang kolam, ia diperbolehkan memilih salah satu dari tiga hadiah yang disediakan. Pertama, berhak menikahi putrinya dengan segala hak waris orang tuanya. Kedua, memperoleh seratus ribu hektar kebun kelapa sawit yang siap panen. Lalu ketiga, berhak atas uang tunai sebesar 100 juta rupiah dengan seperangkat perhiasan emas dan berlian.

Belum selesai tuan rumah memberi sambutan untuk lomba tersebut, tiba-tiba terdengar bunyi ceburan air yang keras dan disusul oleh gerakan renang yang begitu cepat sepanjang kolam. Semua mata terpaku takjub dan heran. Siapa gerangan orang yang begitu antusias mengikuti perlombaan tersebut?

Dia ternyata seorang pemuda yang lumayan ganteng. Tuan rumah begitu senang melihat respon proaktif pemuda itu. Si pemuda ditanya mengenai hadiah yang akan dipilihnya. Si pemuda hanya menggeleng.

“Kalau begitu apa yang Anda inginkan?” tanya tuan rumah penasaran.

Dengan nafas masih terengah-engah si pemuda menjawab,

“Saya hanya ingin tahu, siapa yang mendorong saya ke kolam tadi?!”



Setengah Isi Setengah Kosong, Parlindungan Marpaung

Tidak Lulus karena Bahasa Indonesia? Ampuuun....

Tidak lulus Ujian Nasional karena Matematika? Mungkin sebagian besar orang akan menganggap sebagai suatu kewajaran. Namun, harus tertinggal di SMU hanya gara-gara mata pelajaran Bahasa Indonesia? Ampuuun, deh! Panjenengan bocah Londo, Le?

Saya yakin mayoritas Guru Bahasa Indonesia telah meyakinkan muridnya saat menjelang Ujian Nasional. Tidak perlu belajar mati-matian untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia. Soal UN Bahasa Indonesia lima tahun belakangan ini sudah tidak menuntut itu. Kebanyakan soal terkait dengan kegiatan membaca. Sekali lagi, MEMBACA!

Lalu, mengapa masih ada yang harus tertinggal di Bahasa Indonesia? Kemungkinan besar karena mereka memang tidak gemar dan tidak membiasakan diri untuk membaca. Kebiasaan hidup serba instan membuat mereka enggan untuk sedikit berlelah diri dalam menangkap sebuah informasi. Kalaupun masih mau membaca, sifatnya tetap saja yang serba instan seperti sms-an, chatting, status fb, bbm-an, dan yang sejenisnya. Andai saja saat online mereka sempatkan membuka situs/website/blog informasi, kegiatan membaca ini tentunya dengan sendirinya akan menjadi budaya.

Tentu ini bukanlah kesalahan mereka semata. Ada banyak faktor penyebab lainnya. Nyaris mustahil budaya membaca bisa tumbuh di tengah keluarga atau lingkungan yang masih alergi dengan kegiatan multimanfaat ini. Bak mengharap turunnya hujan di musim kemarau. Di negeri ini masyarakat yang senang membaca hanya 23,5%. Yang hobi mendengarkan radio cuma 40,3%. Adapun yang maniak menonton televisi bisa mencapai 85,9%.*)

Dari sedikit orang yang masih menjadikan membaca sebagai sebuah kegiatan rutin, hanya 21,07% yang senang pada bacaan ilmu pengetahuan. Yang suka membaca majalah atau tabloid sebanyak 29,22%. Yang hobi membaca buku cerita ada 16,72%. Yang membaca koran di hari Minggu terdapat 55,11%. Adapun yang membaca buku pelajaran sekolah ada 44,28%.**) Bisa dibayangkan, bagaimana akan terlahir generasi yang akrab dengan bacaan jika mereka terlahir dari bagian masyarakat yang seperti ini....

Nah, sekarang nasi telah menjadi bubur. Buat siswa-siswa yang saat ini duduk di kelas VII dan VIII SMP serta X dan XI SMU, jadikanlah ini sebuah peringatan. Bahasa Indonesia memang gampang tetapi jangan digampangin. Mulai sekarang: BACA, BACA, dan BACA! Termasuk penggalan artikel ini:

“Bahasa Indonesia Tersulit”

Bahasa Indonesia dan Matematika merupakan dua mata pelajaran yang membuat banyak peserta Ujian Nasional (UN) 2011 tidak lulus. Sebanyak 2.391 siswa tidak lulus karena Matematika dan 1.780 siswa tidak lulus karena mata pelajaran Bahasa Indonesia.

Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional, Mansyur Ramly, ada beberapa hal yang menyebabkan Bahasa Indonesia selalu menjadi kesulitan bagi siswa. Siswa di Indonesia tidak dibiasakan untuk sering membaca dan memahami teks. Selain itu, siswa terlalu terburu-buru dalam membaca soal sehingga hasilnya salah.

Republika, Selasa, 24 Mei 2011

*) data 2006
**) data BPS 2003 untuk penduduk di atas 15 tahun

Ketidakhadirannya Menimbulkan Kerinduan

Sahabat. Kata indah yang mudah diucapkan tetapi sulit didefinisikan secara pasti. Apakah ia yang secara fisik kerap berada di dekat kita? Ataukah ia yang selalu menjadi tempat kita berbagi cerita? Bagi saya, sahabat adalah teman yang saat ketidakhadirannya menimbulkan kerinduan, baik secara fisik atau psikologis.

Saya termasuk manusia yang introvert. Namun, karena kasih-Nya, meskipun terkesan mustahil saya sempat merasakan nikmatnya persahabatan. Hanya segelintir jumlahnya. Sebagian besar di antaranya bahkan hanya sesaat kebersamaannya, seperti sahabat yang saya bicarakan ini. Sahabat yang dengan mengenalnya akhirnya saya bisa merasakan betapa indahnya jalinan persahabatan.

Sahabat saya ini termasuk orang yang gigih dalam mendekati saya. Padahal, selama ini banyak orang yang ‘mengundurkan diri’ karena sikap saya yang tertutup dan terkesan kurang ramah. Sesungguhnya dari upayanya ini terlihat kualitasnya yang berbeda dari teman-teman kebanyakan. Betapa ia mengetahui bahwa celah-celah di hati saya perlu diisi kehangatan jiwa lain di balik dingin dan bekunya perilaku saya. Termasuk kebesaran hatinya untuk menjaga aib saya.

Kebersamaan kami tidak begitu lama. Ia harus berpindah ladang kerja. Barangkali saat itu saya adalah orang yang paling kehilangan di antara teman-teman lain yang juga mengakui kebaikannya. Ia selama ini orang yang paling supel dan membaur. Teman nonmuslim pun merasakan, meskipun sahabat ini sangat Islami tetapi ia merasa sangat dekat. Saya sendiri tidak pernah melihatnya marah. Padahal ia seorang laki-laki dengan usia masih cukup muda.

Kini komunikasi kami tidak lagi rutin. Namun, apa yang ia sampaikan tetap saya kenang. Salah satunya adalah SMS-nya di hari lebaran kemarin;

“Ketika diri ini disanjung dan dikagumi banyak orang, maka sungguh Allah Mahatahu siapa diri ini. Ketika diri ini berbuat dosa dan aib, Allah begitu halus menutupinya. Bukan karena kita pantas ditutup-tutupi tetapi karena Allah begitu bermurah memberi kita kesempatan untuk memperbaiki semuanya; segala yang salah, segala yang khilaf, segala yang rusak…”

Duhai Sahabat, sesungguhnya diri ini benar-benar berada di dalam kerinduan!

Jakarta, 15 Mei 2011

Reformasi: In Memoriam

Tiga belas tahun lalu negeri ini sempat mempunyai mimpi. Reformasi. Sebuah kata yang saat itu masih merupakan kata asing yang belum pernah, atau bahkan tidak pernah, kita gunakan dalam percakapan sehari-hari. Kalaupun ada yang sudah memakainya, konteksnya belum merujuk pada perubahan kehidupan politik.

Di tahun itu, sebagian kakak-kakak, teman-teman, dan adik-adik kampus menjadi bagian dari yang namanya Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Ada yang hanya level jurusan, fakultas, kampus, bahkan provinsi. Saya sendiri saat itu hanya berada pada tingkat jurusan. Kami mencoba mengisi masa-masa kehidupan di kampus dengan sesuatu yang berarti, yaitu berorganisasi.

Hari itu kampus kami mengadakan sebuah pameran antarjurusan. Pengurus BEMJ kami dengan beberapa dosen muda mempersiapkan segala hal yang bisa kami tunjukkan pada pameran tersebut. Di saat bersamaan, teman-teman lain juga sedang melakukan orasi damai terkait dengan tuntutan pergantian rezim.

Siang hari tersiar kabar dari luar kampus bahwa kerusuhan dan pembakaran terjadi di mana-mana. Sebagian besar mahasiswa panik. Yang tinggal/kos di dekat kampus kembali ke kediamannya dengan mengajak beberapa rekan untuk menginap. Yang jauh dari kampus dihimbau untuk tetap berada di kampus karena transportasi mati, tidak ada angkutan umum yang beroperasi. Saya, meskipun tinggal di dekat kampus, memilih untuk bersama teman-teman di kampus. Solidaritas, kata saya.

Keadaan semakin mencekam menjelang malam. Perasaan khawatir sangat terasa, apalagi di jurusan kami mayoritas perempuan. Dapur umum diadakan di salah satu kantin kampus. Saya dan beberapa teman laki-laki bertugas mengambil jatah jurusan kami. Di sinilah saya geleng-geleng kepala. Dalam keadaan susah yang baru permulaan saja sudah terjadi hukum rimba. Sekelompok mahasiswa pria dari sebuah jurusan yang terkenal arogan mendominasi dapur umum. Mereka makan terlebih dahulu dengan porsi kesetanan. Benar-benar tidak memikirkan orang lain. Mereka seperti tidak tahu bahwa memasak untuk banyak orang membutuhkan banyak waktu. Berkarung-karung beras menjadi tidak seberapa dibandingkan jumlah mahasiswa sebuah kampus besar. Jurusan kami dan jurusan lain akhirnya harus menunggu beras dimasak lagi. Kami membawa bagian yang hanya sedikit karena hari sudah terlalu larut malam, khawatir selera makan teman-teman sudah tidak ada. Seingat saya, saya pun tidak ikut makan. Selera makan saya hilang. Bukan saja oleh suasana yang mencekam tetapi juga dengan pengalaman di dapur umum tadi.

Tengah malam sekelompok masyarakat dari luar (kabarnya dari daerah Priok) memprovokasi kami. Kami tidak terpancing. Untungnya, mereka pun tidak memaksa dengan fisik. Sebagian besar dari kami masih dapat pulas tidur di kampus.

Saat pendudukan DPR/MPR saya tidak menjadi bagian dari teman-teman mahasiswa. Saya hanya mendapatkan 'siaran langsung' dari seorang teman yang dengan 'bangganya' berada di sana. Dia beralasan bahwa keberadaannya di sana ingin menjadi 'saksi sejarah'. Saya tertawa mendengarnya. Saat kami berkomunikasi saya sedang memberikan les private kepada keponakan saya. Yah, terkesan mengedepankan urusan perut memang. Namun, ketika saya lapar dan butuh ongkos bus serta fotokopi materi kuliah, tentunya tidak akan ada yang bisa menjamin bahwa teman-teman saya itu akan peduli. Realistis sajalah!

Sekarang kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini terasa semakin karut marut. Politisi-politisi busuk yang terlibat dalam persekongkolan jahat ternyata juga dulunya pernah menjadi aktivis mahasiswa. Mereka menuntut rezim sebelumnya untuk mereformasi diri menjadi orde baru. Politisi-politisi masa kini pun tak jauh berbeda. Mereka yang sekarang banyak dihujat juga dahulunya adalah bagian dari mahasiswa penuntut reformasi. Ya, sejarah memang akan terus berulang!

Artikel berikut ini saya kutipkan sebagai informasi mengenai aktivitas beberapa aktivis 1998 dulu dan sekarang, tetapi sayangnya tidak ada nama-nama mereka yang sekarang bernaung di bawah pohon beringin yang sempat heboh dibicarakan:

"Aktivis 1998: Dulu dan Kini"

Oleh Famega Putri
Newsroom Blog, Kamis, 12 Mei 2011

Gerakan rakyat tahun 1998 tak akan berhasil menggulingkan Suharto tanpa peran mahasiswa dan aktivis. Empat mahasiswa Elang Mulya Lesmana, Hafidhin Royan, Hery Hertanto, dan Hendriawan Sie, gugur pada Tragedi 12 Mei 1998.

Siapa saja aktivis 1998, dan apa yang mereka lakukan kini? Inilah mereka, di antaranya:

Pius Lustrilanang
1998: Aktivis LSM yang diculik pada 4 Februari 1998. April 1998, Pius menjadi orang pertama yang berani menceritakan tentang penculikannya. Pengakuan ini menyebabkan dia harus mengungsi ke Belanda demi keamanan. Belakangan diketahui penculikan dilakukan oleh Komando Pasukan Khusus yang dipimpin Prabowo Subianto. (Tempo)

Sekarang: Politikus Partai yang dipimpin Prabowo, Gerindra. Anggota DPR periode 2009-2014 ini terancam dipecat dari partainya karena mendukung pembangunan gedung baru DPR.

Heru Cokro
Dulu: Koordinator lapangan dalam pendudukan Gedung DPR/MPR pada Mei 1998.

Kini: Pengusaha di bidang konsultasi manajemen, anggota Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI).

Rama Pratama
1998: Ketua Senat Mahasiswa Universitas Indonesia 1997-1998.

Kini: Politikus Partai Keadilan Sejahtera. Disebut-sebut oleh terpidana korupsi Abdul Hadi Jamal dalam sidang suap proyek dermaga di Indonesia Timur. (Tempo)

Munir Said Thalib
1998: Pemimpin Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan. Munir membela para aktivis yang diculik, salah satunya adalah Pius Lustrilanang. (Tempo)

Kini: Diracun di udara dalam penerbangan menuju Belanda, 7 September 2004. Dalang pembunuhnya masih gelap.

Andi Arief
1998: Ketua Senat Mahasiswa Fisip UGM 1993-1998, juga menjadi Ketua Umum Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi Cabang Yogyakarta tahun 1996. Aktivitasnya ini menyebabkan dia diculik oleh Komando Pasukan Khusus yang dipimpin Prabowo Subianto. (Tempo)

Kini: Staf khusus presiden bidang bantuan sosial dan bencana.

Taufik Basari
1998: Aktivis dan mahasiswa fakultas hukum Universitas Indonesia.

Kini: Pengacara kasus-kasus pelanggaran HAM. Tim pengacara Bibit dan Chandra, koordinator tim advokasi lumpur lapindo.

Menyikapi Sang Pengais Iba

Pernah Anda (tidak) melihat pengemis, khususnya di Ibukota? Apa yang terlintas di benak Anda saat melihat mereka? Terharu penuh biru karena ternyata masih banyak orang bernasib lebih kelabu dibandingkan Anda? Terperanjat penuh pana karena di negeri yang katanya keping surga ini masih banyak insan yang menadahkan tangan? Tersenyum bahagia penuh bijaksana karena Anda menganggap mereka sebagai ladang amal Anda? Apa pun jawabannya, ada baiknya mulai saat ini Anda merevisi ulang cara pandang mata badani dan mata hati Anda. Sudah proporsionalkah? Artikel berikut sekadar salah satu reverensi bagi Anda dalam menempatkan diri Anda dalam kepungan pengemis yang kian mewabah di Indonesia:

"Dari Tape hingga Sewa Bayi, Inilah Modus Pengemis Pantura Kelabui Warga Jakarta"

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA - Masyarakat Jakarta dihimbau untuk tidak memberikan lagi bantuan, uang misalnya, kepada pengemis di jalanan. Hal ini dilakukan agar Jakarta bisa bebas dari PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial).

Pengemis banyak ditemui di jalanan, perempatan, pinggir jalan, bawah jembatan, atas jembatan penyeberangan, dan lain sebagainya. Mereka selalu mencari tempat strategis yang banyak dilewati orang. Ini tak lain agar banyak orang bisa memberinya uang.

Purwono, Kepala Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 3, membenarkan adanya peraturan agar tak boleh lagi memberi uang pada pengemis di jalan. Apabila tak ada lagi orang yang memberi uang di jalan, pengemis akan kapok dan tak akan lagi menjadi pengemis. "Mereka akan cari pekerjaan pengganti," katanya.

Ia juga mengingatkan agar masyarakat tidak tertipu dengan penampilan pengemis dan merasa iba pada mereka. Pengemis merupakan PMKS. Pengemis, menurutnya, itu kebanyakan bukan orang asli Jakarta. "Sebagian besar dari pantura," katanya.

Modus Pengemis

Purwono menjelaskan bahwa pengemis-pengemis ini sengaja ingin membodohi masyarakat Jakarta agar memberinya uang. Pengemis juga banyak melakukan modus agar orang-orang merasa iba kepadanya.

Mereka sengaja memakai baju compang-camping agar orang mengira bahwa mereka tak sanggup membeli baju laik. Padahal, penghasilannya yang diperoleh dari mengemis itu bisa mencapai ratusan ribu dalam sehari.

Beberapa pengemis dengan sengaja membuat luka pada tubuhnya dan memberinya tape agar lalat menempel pada tubuhnya. Terkadang, tubuhnya juga dibuat seperti buntung. Tujuannya adalah agar orang kasihan karena orang cacat seperti mereka tak punya kesempatan lain untuk bekerja selain hanya bisa mengemis.

Pengemis perempuan bahkan sering menyewa bayi. Bayi tersebut dibawa mereka keman-mana agar orang merasa iba bahwa ada seorang ibu yang membawa bayi dan membutuhkan uang. Tak jarang pantat dari bayi yang disewanya tersebut dipukul agar menangis. Ini tak lain guna menambah keibaan.

Magdalena Sitorus, seorang aktivis kemanusiaan, pun tidak setuju dengan adanya pengemis. "Saya tidak respek pada mereka," katanya. Ia juga mengharapkan agar seluruh masyarakat tahu dan paham bahwa pengemis itu adalah sebuah gangguan. Mereka bukan sebuah hal yang harus dibantu.

http://www.republika.co.id