Saat ini begitu banyak anak yang dibesarkan oleh pembantu rumah tangga atau babby sitter. Padahal, para pembantu rumah tangga dan babby sitter bekerja seperti itu karena 'kalah bersaing di bidang yang lebih tinggi'. Bagaimana bisa kita mempercayakan pembentukan generasi berkualitas dari 'guru' yang seperti itu?
Sekarang banyak juga pelimpahan pengasuhan anak kepada kakek-neneknya. Sebegitu tega kita menambah beban orang tua yang sudah mengasuh kita dua hingga tiga dekade dengan kembali mengasuh cucunya. Biarlah mereka bermain-main dengan cucu kita dengan waktu yang disukai mereka, bukan diserahi tanggung jawab.
Itulah sebabnya, meskipun seorang isteri harus di rumah, dia tetap membutuhkan bekal. Belajar. Ibu yang cerdas insya Allah akan menghasilkan anak yang cerdas jika ia mengasuh anaknya sendiri. Namun, jika amanah itu ia berikan kepada pembantu yang lugu atau orang tua yang sudah renta, hasilnya tentu tidak optimal.
Saudariku yang disayangi Allah,
Anggapan bahwa isteri di rumah 'kurang kreatif' dibandingkan yang bekerja di luar rumah memang santer terdengar. Kekurangkreatifan itu bermula dari bekal perempuan itu sendiri. Sekarang ini barangkali masih lebih banyak perempuan dengan kemauan belajar rendahlah yang mau di rumah. Perempuan yang kemauan belajarnya tinggi justru beranggapan dia harus melanglang buana. Hasilnya? Lihat saja perilaku penerus generasi ini. Dengan semakin banyaknya perempuan berkelana, apakah semakin banyak generasi yang berkualitas?
Isteri membantu suami memang harus. Motivasikan suami untuk bisa serius dalam pekerjaannya. Isteri konsentrasi dalam pembentukan generasi selanjutnya. Pastikan apa yang didapat anak untuk akal, ruh, dan jasmaninya adalah semua yang bisa dipertanggungjawabkan. Hingga ketika anak diminta untuk; hormati ibumu, ibumu, ibumu, baru ayahmu, mereka melaksanakannya dengan seharusnya. Mereka akan terbayang wajah teduh sang ibu saat menyusui, bukan wajah kuyu sang pembantu yang memegangi botol susu (meskipun di dalamnya ASI juga). Mereka tersenyum dan berlinang air mata kala mengingat sang bunda mengajarinya membaca, bukan tersenyum pahit kala mengingat kemampuannya diasah oleh perempuan tamatan SD atau SMP (padahal ibunya sarjana). Mereka akan senantiasa mendoakan ibunya karena ibunyalah yang mengajarinya untuk senantiasa mengawali sesuatu dengan berdoa, bukan justru mengutamakan mendoakan orang lain yang dianggapnya lebih berjasa. Mereka pun akan menghargai sang ayah yang telah berpenat diri mencari nafkah dan bukan memandangnya rendah karena harus membiarkan sang ibu turut lelah di luar rumah.
Saudariku yang dirahmati Allah,
Di Hari Kartini ini tidakkah terbesit di hatimu untuk menjadi Kartini berikutnya (dengan kualitas lebih baik tentunya)? Kartini yang tetap mematuhi dan menghormati orang tua. Kartini yang terus merasa haus akan ilmu. Kartini yang senantiasa mengabdi pada suami. Kartini yang masih bermanfaat buat umat. Kartini yang berupaya memperdalam ilmu agama. Juga... Kartini yang menyerahkan segala urusan kepada Sang Pemberi Cahaya, Allah SWT.
Sekadar meruntut napak tilas seorang Kartini, berikut kutipan sebuah artikel dengan beberapa penambahan pendapat saya:
“Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut di sukai.” (Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juni 1902)
Tinta sejarah belum lagi kering menulis namanya. Namun wanita-wanita negerinya sudah terbata-bata membaca cita-citanya. Kian hari Emansipasi kian mirip saja dengan liberalisasi dan feminisasi. Sementara Kartini sendiri sesungguhnya semakin meninggalkan semuanya dan kembali kepada fitrahnya, fitrah Islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Jangan salahkan Kartini kalau dia tidak sepenuhnya dapat lepas dari kungkungan adatnya. Jangan salahkan Kartini kalau dia tidak dapat lepas dari pendidikan Baratnya. Kartini bukan 'anak keadaan', terbukti dia sudah berusaha untuk mendobraknya. Yang harus kita persalahkan adalah mereka yang menyalahartikan kemauan Kartini. Kartini tidak dapat diartikan lain, kecuali sesuai dengan apa yang tersirat dalam kumpulan suratnya. Seperti yang ada dalam Door Duisternis tot Licth yang terlanjur diartikan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang oleh Armijn Pane. Prof. Dr. Haryati Soebadio, mantan Menteri Sosial RI, yang notabene cucu tiri R.A. Kartini mengartikan buku itu menjadi Dari Gelap Menuju Cahaya atau bahasa Alqurannya Minazh-Zhulumaati Ilan-Nuur (QS Nur :31) adalah inti dari Panggilan Islam. Yang maksudnya membawa manusia dari kegelapan (kejahiliyahan atau kebodohan) ke tempat yang terang benderang (kebenaran Al Haq).
Lihatlah seorang Kartini yang menyadari bahwa dirinya masih di dalam kegelapan dan terus berupaya untuk menuju cahaya. Cahaya yang bisa ia dapatkan dari mempelajari Alquran bukan dengan mengikuti tradisi ataupun budaya Barat.
“Allah Pemimpin orang-orang yang beriman, Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya.“ (Q.S. Al-Baqarah, 2 : 257)
Perjalanan Kartini adalah perjalanan panjang. Dia belum sampai pada tujuannya.
Kartini berada dalam proses dari kegelapan menuju cahaya. Namun, cahaya itu memang belum sempurna menyinari secara terang benderang. Cahaya itu masih terhalang oleh atmosfer tradisi dan usaha westernisasi. Kartini kembali pada Pencipta, Pemilik, Pemelihara dan Penguasanya sebelum ia menyelesaikan usahanya untuk mempelajari Alquran dan mengamalkannya secara utuh (kaffah) sebagaimana yang dicita-citakan.
Kartini yang dikungkung oleh adat dan dituntun oleh Barat, telah mencoba meretas jalan menuju terang. Anehnya hanya sedikit perempuan yang meneruskan perjuangannya. Wanita-wanita masa kini mengurai kembali benang yang telah dipintal oleh Kartini. Sungguh pun mereka merayakan hari lahirnya, tetapi sebenarnya mereka mengecilkan arti perjuangannya. Gagasan-gagasan Kartini yang dirumuskan dalam kamar yang sepi hanya mereka peringati di atas panggung yang ramai. Kecaman Kartini yang pedas terhadap Barat, justru mereka artikan sebagai isyarat untuk mengikuti wanita-wanita Barat habis-habisan. Kartini sudah berusaha mendobrak adat dan mengelak dari Barat, untuk mengubah keadaan. "Manusia itu berusaha, Allah lah yang menentukan." (Surat Kartini kepada Ny. Ovink Soer, Oktober 1900). Demikian kata-kata Kartini yang mencerminkan sikap tawakal.
(Dikutip http://salima.or.id dari Tragedi Kartini karya Asma Karimah)
Jakarta, 21 April 2011
Jakarta, 21 April 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar