Belajar Menjadi Lelaki
Judul : 11 Amanah Lelaki: Menjemput Keping Hikmah
Penulis : Bayu Gawtama
Penerbit : Gema Insani Press
Tahun : 2007
Tebal : 154 halaman
Dr. H. Miftah Faridl dalam
pengantar di buku ini menulis, tidak setiap orang mau mencatat setiap perjalanan
yang pernah dilaluinya. Padahal, semua orang mampu melakukannya. Hanya sedikit
orang yang mau berbagi catatan perjalanan kehidupannya. Salah satunya adalah
Bayu Gawtama.
Bayu Gawtama memiliki
filosofi hidup yang ia genggam, yaitu "Jika setiap tempat adalah sekolah,
maka setiap orang adalah guru." Buku ini adalah catatan kisah
perjalanannya dalam kehidupan sehari-hari. Kisah sederhana nampaknya, tetapi
sesungguhnya memperkaya jiwa pembacanya. Bukankah hikmah itu terkandung di
segala peristiwa?
Kisah seorang lelaki,
seorang suami, dan seorang ayah dalam buku ini dikelompokkan dalam tujuh
bagian. Bagian pertama berbicara tentang sahabat. Bagian kedua berbicara
tentang hikmah perjalanan. Bagian ketiga mengenai orang-orang tercinta. Bagian
keempat pelajaran dari orang-orang yang berhati mulia. Bagian kelima berisikan
keyakinan mengenai kebesaran-Nya. Bagian keenam merupakan nostalgia di masa
kanak-kanak. Bagian terakhir semacam renungan atau refleksi hati.
Banyak kisah menarik dapat
kita temui di buku ini. Kisah yang mengajarkan bagaimana menjadi lelaki. Entah
sebagai ayah, suami, maupun pribadi. Tiga di antara kisah-kisah menarik itu
adalah "Sesal Hingga Pagi", "Lelaki Sebelas Amanah", dan
"Elegi Si Pencari Rezeki".
"Sesal Hingga
Pagi" menceritakan pengalaman Gaw saat menumpang angkot. Ia dan sebagian
besar penumpang lain menginginkan angkot tersebut berbelok karena jika
menggunakan jalur lurus bisa membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit. Hanya
seorang ibu muda yang terpaksa turun dan berjalan kaki ke arah jalur lurus
karena kalah suara. Hal ini menimbulkan sesal di hati karena perempuan itu
ternyata harus berjalan dengan dua tongkat di pangkal lengannya!
Pengalaman Gaw saat naik
becak yang dikayuh seorang bapak separuh baya tertuang dalam "Amanah
Sebelas Lelaki". Obrolan mereka tentang anak berbuah rasa malu. Betapa
tidak, saat Gaw menyatakan bahwa anaknya baru dua orang tetapi sudah merasa
kerepotan. Adapun sang pengayuh becak justru memiliki sepuluh anak. Berarti ada
sebelas amanah yang ditanggungnya. Hebatnya, sang pengayuh becak menyikapinya
dengan lapang, "Anak-anak itu amanah dari Gusti Allah, Pak. Dia tidak akan
mengamanahkannya kepada kita kalau Dia tidak tahu kemampuan kita. Dia tahu
persis bahwa lelaki seperti kita mampu dititipkan amanah", bagitu tutur
indahnya.
Di "Elegi Si Pencari
Rezeki" kita diingatkan, pernahkah kita memperhatikan kehalalan makanan
yang kita konsumsi. Makanan untuk pribadi, istri, maupun anak-anaknya. Gaw
menuliskan pengalamnnya di sebuah franchise bakmi;
"Mie satu, juice jeruknya
satu," pelayan itu pun mencatat pesanan saya. "Eh Mbak, sambil nunggu
pesanan saya tadi, boleh saya minta segelas air putih untuk membetalkan puasa
saya?" pinta saya secara halus. Tiba-tiba, dengan seulas senyum tapi
sambil takut-takut pelayan itu berbisik,
"Mas muslim? Lebih
baik batalkan saja pesanan mienya. Ini tidak halal buat muslim. Soal air putih,
segera saya bawakan, gratis untuk yang berpuasa." (halaman 145-146).
Nah, kalaulah ada orang
yang begitu peduli akan kehalalan makanan yang kita konsumsi, sudahkah diri
kita juga peduli?
