Skenario-Nya


Skenario-Nya


“Memangnya kamu tidak tahu kalau aku sudah punya pacar!” suara gadis itu terdengar tajam. Aku tahu! Di bagian kampus manapun aku selalu melihatmu berdua dengan seorang lelaki. Lelaki yang itu-itu juga!

“Yah... aku tahu...” lemah terdengar suaraku sendiri di telepon.

“Lalu kenapa kamu masih mengungkapkan perasaan kamu?” nada tanyanya cenderung meradang. Akh! Pacar itu belum tentu akan menjadi suamimu! Kalau teman-temanku bilang, selama janur kuning belum terpasang atau lamaran belum terlaksanakan, maka setiap lelaki berhak untuk menyuntingmu.

“Karena aku cinta kamu...” ujarku tulus. Bukan gombal. Setiap melihatmu selalu ada yang berdesir di dada ini. Hal ini terjadi hanya pada saat melihatmu. Tidak dengan gadis yang lain!

“Itu namanya cinta buta, tahu! Bagaimana bisa kamu mencintai perempuan yang sudah punya pacar? Silahkan cintai perempuan lain yang belum ada yang punya!” masih ada nuansa emosi di suaranya. Aduh! Cinta tidak bisa dipalingkankan begitu saja, sayang!

“Tidak ada yang sepertimu...”

“Ya jangan mencari yang seperti aku, dong! Tuhan tidak menciptakan dua manusia yang sama persis!” sudah terasa ada hentakan di sana.

“Kamu tidak mengerti perasaanku...”

“Aku tidak perlu mengerti perasaan kamu! Kamu sendiri tidak mau mengerti perasaan orang lain!” Aku mengerti perasaanmu! Namun, aku tidak mungkin memendam perasaan yang tidak seperti biasanya ini. Sudah beberapa kali aku jatuh cinta. Belum ada yang sedahsyat ini. Yang mengganggu tidur malamku. Yang mengoyak konsentrasi belajarku. Yang menghancurkan nafsu makanku. Yang membuat aku menjadi seseorang yang sulit untuk bernafas kecuali setelah mengeja namamu.

“Kamu marah karena aku mencintai kamu?” tanyaku bodoh.

“Ya!”

“Kok?”

“Mengapa kok?”

“Aku benar-benar mencintai kamu...”

KLIK!!! Sambungan komunikasi telepon diputus secara sengaja dari sana.

*

Hari-hari yang berat. Semakin berat ketika harus menyaksikan gadis itu berduaan dengan kekasihnya. Mereka yang biasanya hanya berjalan berdampingan kini terlihat bergandengan tangan atau bahkan berangkulan. Demonstratif sekali! Kuyakin ini hanya terjadi jika di hadapanku!

“Sudahlah! Masih banyak perempuan lain yang lebih baik dan lebih cantik dari dia!” hibur seorang teman.

“Gue yakin elo bisa dapat perempuan yang lebih dari dia!” teman yang lain coba berpartisipasi menghibur. Namun, ucapannya terasa membabi buta!

“Gue heran sama elo! Selalu jatuh cinta sama perempuan yang sudah punya pasangan! Ke psikiater, gih!”

BUGH! Aku cuma bisa melotot.

“Iya! Dulu Yati pacar si Tono, terus Maria isteri muda Pak Yanto, Dewi yang sudah punya tunangan, dan sekarang Alena pacar Robby. Habis ini siapa lagi?”
Aaakh! Kalian semua tidak mengerti cinta. Cinta itu bisa datang kepada siapa saja, kapan saja, di mana saja! Dan yang terpenting, perasaan cintaku pada tiga perempuan sebelumnya tidak sedalam yang sekarang!

Yati pacar Tono? Aku baru tahu belakangan. Aku lebih dulu kenal Yati di SMA. Saat Tono aku tawarkan untuk kukenalkan padanya, dia menolak. Tidak tahu bagaimana ceritanya sehingga mereka berpacaran. Yang jelas aku merasa Yati memperlakukanku sebagai pahlawannya. Hanya karena kukembalikan buku hariannya yang kutemukan di kantin. Setelah tahu Yati menyukai Tono, aku mundur perlahan.

Tentang Maria, jangan dibayangkan aku seorang perusak rumah tangga orang! usiaku dan Maria hanya selisih tiga tahun. Ketika ia dinikahkan secara paksa kepada seorang lelaki beristeri, ia hanya bisa pasrah. Meskipun hati tak bisa menerima. Dan aku hadir sebagai seorang pendengar yang baik baginya. Sekaligus pengisi kesepian hidupnya yang ternyata sering diabaikan oleh suaminya. Tidak ada yang melewati batas. Semua berakhir tatkala ayah dan ibuku menginginkan keluarga kami tidak lagi menjadi buah bibir di lingkungan kami tinggal. Aku memang kasihan terhadap Maria. Namun, aku mencintai keluargaku.

Adapun dengan Dewi berbeda lagi alasannya. Ada kepuasan tersendiri ketika mengetahui seorang lelaki overprotektif kebakaran jenggot sewaktu tahu tunangannya berdua dengan lelaki lain. Selama ini namaku dan nama teman lelaki lain tidak boleh ada dalam daftar nomor telepon Dewi. Itu semua keinginan lelaki itu. Berlebihan sekali bukan? Aku pun berhenti mencintai Dewi setelah dia benar-benar dinikahi oleh tunangannya itu.

Alena? Hmmm… Ada gadis yang tidak pernah terlambat ikut perkuliahan? Ada gadis yang mau berlama-lama di kampus untuk menjadi kepanitiaan ini-itu? Ada gadis yang dengan berbagai aktivitas masih memiliki Indeks Prestasi selalu di atas 3,5? Ada gadis cantik dengan seabrek prestasi? Kalau ada selain Alena, kenalkan aku padanya!

“Elo bayangkan kalau elo jadi Robby, bagaimana perasaan elo?” pertanyaan yang menyentak. Yah, tentu saja aku tak akan rela jika kekasihku ada yang berusaha memiliki!

“Nah, sekarang lebih baik elo manfaatkan energi elo buat masa depan elo sendiri! Dunia tidak selebar daun kelor! Perempuan pun bukan hanya Alena!” Aku mengangguk setuju. Aku harus bangkit! Yah, tentu saja! Bel sudah berdering. Tanda perkuliahan kedua akan dimulai. Kalau tidak, bisa diusir Mr. Subronto, dosen paling killer di fakultasku.

*

Berantai masa telah berlalu. Kini aku hidup bahagia dengan seorang isteri dan seorang anak yang lucu. Meskipun tidak secantik Alena, ada rasa teduh ketika memandanginya.

“Hey, apa kabar?!” suara dan tepukan di pundak yang mengagetkan. Seorang teman saat kuliah dulu.

“Alhamdulillah…” jawabku low profile.

“Anak?” tanyanya seraya menunjuk jagoan cilikku. Aku mengangguk.

“Isteri elo?” pertanyaan lagi. Kuarahkan telunjukku ke kassa. Kami memang sedang berbelanja.

“Cantik juga…” decaknya. Meskipun tak secantik Alena, batinku sinting.

“Sudah dengar kabar Alena?” pertanyaan yang membangkitkan dasar memori di hatiku.

“Belum! Bagaimana dia sekarang?” Alamak! Nyata sekali ada keantusiasan dalam nada tanyaku. Rasanya ada yang mengalir di wajah ini.

“Kasihan dia! Robby mendapat kecelakaan satu hari sebelum pernikahan mereka. Ia tewas. Alena terpukul. Berbulan-bulan ia mengurung diri. Sekarang dia di rumah sakit jiwa…” Aku tidak menangkap kata-kata yang ia ucapkan setelah itu. Tak lama setelah berucap, teman lama itu pun berlalu.

Aku tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Seolah ada yang mengoyak isi dada ini sedikit. Mengapa begitu tragis nasibmu, gadisku?

“Papa! Itu mama sudah selesai!”

***

Selesai

 


Tidak ada komentar: